DEDI RIYANTO, S.H.
MAHASISWA MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO
Bahwa setiap manusia memiliki hak yang tidak dapat dialihkan atau dirampas oleh orang lain maupun oleh suatu lembaga yang biasa disebut dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Dewasa ini konsep pelanggaran HAM Berat mulai dijadikan alat oleh orang-orang yang ingin melakukan pemecahan belah terhadap Bangsa Indonesia terutama yang terjadi di wilayah berkonflik. Dimana tujuan kelompok tersebut adalah untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat dunia yang seolah-olah kelompok tersebut merupakan korban dari pelanggaran HAM Berat. Bahwa di Indonesia terhadap pelanggaran HAM Berat sudah diatur dalam ketentuan Pasal 7 huruf a dan b yang menyatakan bahwa pelanggaran HAM Berat terdiri dari kejahatan terhadap genosida yang merupakan setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang merupakan salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.
Isu kasus pelanggaran HAM Berat yang dihembuskan oleh kelompok separatis tersebut dengan mudahnya menjadi perbincangan masyarakat dunia dikarenakan mereka menganggap bahwa terdapat pelanggaran HAM Berat pada masa lalu yang terjadi di Indoensia yang belum tuntas penanganannya dan masih menyisakan permasalahan serta masih banyaknya korban pelanggaran HAM Berat yang belum tertangani dengan baik oleh Pemerintah Indonesia.
Proses penegakan hukum pidana terhadap pelanggaran HAM Berat yang selama ini terjadi membutuhkan waktu yang sangat panjang dimana dalam menentukan apakah suatu peristiwa merupakan pelanggaran HAM Berat atau hanya pelanggaran terhadap HAM saja dalam pelaksanaannya masih diperdebatkan.
Terdahap proses yang demikian tersebut maka perlunya suatu terobosan terhadap penanganan pelanggaran HAM Berat yang sebelumnya menitik beratkan pada proses penegakan hukum yang kemudian beralih menjadi proses penanganan terhadap korban pelanggaran HAM Berat tersebut.
Bahwa terhadap proses penanganan terhadap korban pelanggaran HAM Berat sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM Yang Berat. Namun sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Tersebut pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat hanya dapat dilaksanakan setelah suatu Pelanggaran HAM Berat sudah diputus oleh Pengadilan yang berkektuatan hukum tetap.
Bahwa pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat dapat dipandang sebagai solusi untuk meredam atau untuk menyelesaikan permasalahan penanganan suatu Pelanggaran HAM Berat. Dengan demikian perlu adanya terobosan dengan membentuk suatu tim khusus yang dapat merespon dengan cepat mengenai suatu pelanggaran terhadap HAM Berat yang kemudian agar dapat menentukan keputusan terhadap suatu peristiwa apakah merupakan pelanggaran terhadap HAM Berat atau bukan. Dimana kemudian terhadap suatu peristiwa yang sudah dianggap sebagai pelanggaran terhadap HAM Berat langsung dapat dilakukan pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM tanpa menunggu terhadap suatu keputusan pengadilan. Dengan demikian Pemerintah telah mengedepankan pengakuan terhadap hak-hak yang dimiliki oleh korban dan meringankan penderitaan yang dialami oleh korban sehingga dapat menyelesaikan permasalahan yang ada didaerah konflik. (*)