Mengembangkan obat baru biasanya akan memakan waktu bertahun-tahun. Namun kini para ilmuwan berlomba melawan waktu untuk memproduksi cepat antivirus wabah corona.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melakukan berbagai upaya untuk menemukan vaksin dan obat yang ampuh membasmi penyakit yang disebut COVID-19.
Salah satu upaya itu adalah dengan melakukan uji klinis multi-negara yang diberi nama 'SOLIDARITY'. Uji klinis ini bertujuan untuk membuktikan keampuhan dari empat obat yang dipercaya dapat membantu menyembuhkan pasien yang terinfeksi COVID-19.
Uji klinis ini sendiri diluncurkan bersamaan dengan yang dilakukan banyak peneliti lainnya di seluruh dunia, termasuk dari China. Namun sejauh ini, penelitian di China belum menghasilkan cukup data dan jawaban yang konklusif.
"Banyak uji coba kecil dengan metodologi berbeda mungkin tidak memberi kita bukti yang jelas dan kuat yang kita butuhkan tentang perawatan yang membantu menyelamatkan hidup," kata Tedros Adhanom, direktur jenderal WHO, dalam jumpa pers, dikutip dari The Verge.
Sebagaimana diketahui, sebelumnya ada beberapa jenis obat yang telah diyakini mampu membantu menyembuhkan penyakit yang sudah menginfeksi 370 ribu lebih orang itu. Obat itu termasuk remdesivir dan klorokuin.
Berikut rincian empat obat yang menjadi perhatian WHO dan peneliti.
1. Chloroquine (Klorokuin) dan Hydroxychloroquine
Kedua jenis obat ini sebelumnya dikenal sebagai obat malaria. Panel ilmiah WHO yang merancang proyek SOLIDARITY awalnya memutuskan tidak melanjutkan penelitian pada chloroquine (klorokuin) dan hydroxychloroquine tetapi berubah pikiran pada 13 Maret lalu.
Pasalnya keduanya menunjukkan hasil cukup signifikan di beberapa negara. Pada bulan Februari lalu, sebuah kelompok penelitian yang dipimpin oleh Wang Manli dari Akademi Ilmu Pengetahuan China mengatakan mereka telah menemukan bahwa chloroquine berhasil menghentikan replikasi virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan penyakit COVID-19, dalam sel manusia yang dikultur.
Dikutip dari South China Morning Post, chloroquine memang sudah dimasukkan dalam pedoman pengobatan China. Pakar penyakit pernapasan China Zhong Nanshan mengatakan chloroquine lebih aman karena disetujui untuk mengobati malaria.
Peneliti di Perancis juga telah menerbitkan studi di mana mereka merawat 20 pasien COVID-19 dengan hydroxychloroquine. Mereka menyimpulkan obat ini secara signifikan mengurangi viral load pada uji swab.
Namun Society of Critical Care Medicine Amerika Serikat (AS) menyebut tidak ada cukup bukti untuk mengeluarkan rekomendasi tentang penggunaan keduanya pada pasien COVID-19. Hydroxychloroquine, khususnya, mungkin lebih berbahaya terutama untuk jantung.
"Pada manusia, chloroquine bekerja dengan baik melawan malaria, tetapi itu adalah mekanisme yang berbeda dari yang kita lihat terhadap virus," ujar virolog dari Universitas Kent Inggris Jeremy Rossman.
"Bukti bahwa chloroquine sebagai antivirus pada manusia kurang meyakinkan dan akan membutuhkan lebih banyak penelitian, tetapi saya tidak percaya diri. Untuk beberapa virus yang diuji, chloroquine sebenarnya memperburuk penyakit pada model hewan."