Persoalan Gizi Buruk, Pekalongan Rangking 4 Se-Jateng

Jumat 12-04-2019,13:00 WIB

*KAJEN - Persoalan gizi buruk masih menjadi permasalahan serius yang dihadapi Pemkab Pekalongan. Pada tahun 2018, Kabupaten Pekalongan menduduki rangking empat se-Jawa Tengah, dengan 48 anak alami gizi buruk. Persoalan gizi buruk bersifat multikompleks, yang tidak semata diakibatkan oleh faktor ekonomi. Bahkan, seorang perawat pun ada yang anaknya menderita gizi buruk. Selain gizi buruk, persoalan lainnya adalah berat bayi lahir rendah (BBLR), gizi kurang, dan stunting yang juga masih cukup tinggi.

PENGUKUHAN GEN PESAT - Bupati Pekalongan Asip Kholbihi mengukuhkan tim pendamping Gen Pesat tingkat kabupaten di Aula Lantai I Setda, kemarin. Hadi Waluyo

Salah satu upaya Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Pekalongan untuk menekan kasus BBLR, balita gizi buruk, gizi kurang, dan stunting, dengan melaunching program Gen Pesat (Gerakan Pemuda Siaga Sehat). Pasalnya, pemicu persoalan BBLR, balita gizi buruk, gizi kurang, dan stunting, multikompleks, sehingga harus ditangani secara komprehensif termasuk dengan melibatkan kaum muda. Faktor-faktor pemicu persoalan di atas seperti tingginya angka pernikahan dini, remaja putri menderita anemia, ibu hamil dengan kondisi kekurangan energi kronis (KEK), harus diatasi sejak awal untuk menekan kasus gizi buruk tersebut. Pengukuhan dan launching Gen Pesat dilakukan oleh Bupati Pekalongan, Asip Kholbihi, di Aula Lantai I Setda, Kamis (4/11) kemarin.

Bupati Pekalongan Asip Kholbihi berharap, Gen Pesat ini bisa melaju pesat, karena ada persoalan yang mengganjal yang belum selesai, yakni balita gizi buruk, gizi kurang, stunting, BBLR, dan kematian ibu hamil dan anak (AKI).

"Persoalan ini mengandung makna yang sangat berat karena menyangkut aspek kemanusiaan. Dalam agama mensyaratkan jika kita ingin hidup baik di akherat, prasayat utamanya itu baik dulu di dunia. Salah satu prasyarat yang fundamental dalam kebaikan di dunia adalah kesehatan. Kita masih punya potret kurang di bidang kesehatan, tetapi ini bukan sesuatu yang menjadikan kita pesimis tapi justru menjadi ladang untuk bisa lebih beramal lagi, bermanfaat lagi, untuk menanam nilai-nilai kebaikan kita. Hidup di dunia ini tidak lama. Jika kita bisa melakukan amal sholeh, berguna bagi orang lain, bisa menjadi sesuatu yang kita harapkan di saat kehidupan di akhirat," katanya.

Pemerintah menyadari dengan keterbatasan yang ada, tidak bisa menyelesaikan seluruh persoalan yang dihadapi. Di antaranya, persoalan kesehatan yang tidak bisa diatasi oleh Dinkes saja. Pasalnya, ujar Bupati, permasalahan kesehatan ini bersifat kompleks dan multikultur.

Disebutkan, angka kematian ibu melahirkan, pada tahun 2015 Kabupaten Pekalongan rangking 9 se-Jateng, tahun 2016 rangking 12 se-Jateng, tahun 2017 rangking 9 se-Jateng, dan tahun 2018 rangking 20 se-Jateng. Angka kematian bayi pun sangat fluktuatif. Diterangkan, tahun 2015 ada 126 kasus, rangking 26 se-Jateng, tahun 2016 ada 172 kasus, rangking 14, dan di tahun 2017 terdapat 131 kasus, rangking 21 se-Jateng.

"Jika dilihat kita rangking 10 besar semua. Kita tentu harus prihatin, kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, duduk seluruh komponen yang ada. TP PKK terima kasih telah bekerja keras, ada CSR juga," katanya.

Menurutnya, pada tahun 2018, permasalahan gizi masih menjadi fokus pemda, karena Kabupaten Pekalongan masih rangking empat se-Jateng untuk gizi buruk. Jumlah penderita gizi buruk pada tahun 2017 ada 53 anak, dan turun menjadi 48 anak di tahun 2018. "Upayakan agar ada treatment yang tepat. Gizi buruk ini belum tentu berasal dari anak yang tidak mampu. Bahkan, ada seorang perawat, anaknya gizi buruk. Anak seorang perawat saja bisa menderita gizi buruk. Ini kan menjadikan pemikiran kita bahwa gizi buruk itu bisa dialami oleh siapa saja, termasuk anak orang kaya. Harus ada proses edukasi yang menyeluruh, masif, panjang waktunya, dan butuh kesabaran karena ini menyangkut pola pikir dan budaya masyarakat kita," ujar Bupati.

Persoalan stunting (lambatnya tumbuh kembang anak), lanjut Bupati, secara nasional menjadi isu di tahun 2017. Di Kabupaten Pekalongan, pada tahun 2016 terdapat 112 kasus stunting, atau 35,8 persen, dan di tahun 2017 turun menjadi 91 anak, atau 28,3 persen. Diharapkan, hingga tahun 2021 progressnya harus semakin baik. Disebutkan, stunting terbesar di Kecamatan Wiradesa dan Kajen. "Secara ekonomi ini tidak berbanding lurus. Jika kita lihat komposisi PDRB kita dari hampir Rp 8 triliun itu terbesar disumbang dari Kecamatan wiradesa, tapi kenapa?. Duit terbanyak di Kecamatan Wiradesa tapi ini angka stuntingnya tinggi. Ada latar belakang sosial, ekonomi, dan lainnya, sehingga angka stuntingnya tinggi. Mungkin persoalan air. Diskusi kita dengan Menteri PUPR, salah satu penyebab tingginya angka stunting di Indonesia adalah karena suplai air. Kita lihat Wiradesa salah satu daerah industri di Kabupaten Pekalongan, jadi sangat memungkinkan angka stuntingnya tinggi. Bukan karena tidak memiliki uang, tapi mungkin faktor airnya," terang Bupati.

Disebutkan, dari 27.280 remaja putri yang diperiksa, sebanyak 6.399 menderita anemia. Oleh karena itu, ujar Bupati, harus ada treatment yang cepat dan sederhana. Dari 17.535 jumlah ibu hamil di tahun 2018, 1.916 ibu hamil mengalami anemia dan 2.272 alami KEK. Angka pernikahan dini di Kabupaten Pekalongan juga masih tinggi, yakni peringkat ketiga di Jateng. Jumlah pernikahan dini mencapai 2.024 pernikahan, dari jumlah pernikahan 9.044 di tahun 2017.

"Sistem kroyokan untuk mencegah pernikahan dini. Nikah dini mudhorotnya timbulnya KEK, anemia, BBLR, balita gizi buruk, kurang, dan stunting. Harus ada pendidikan sekolah menjelang perkawinan," pesannya. (ap5)

Tags :
Kategori :

Terkait