KOTA - Pekan Batik Pekalongan 2019, membawa euforia dan efek ekonomi yang cukup besar bagi sebagian masyarakat Kota Pekalongan. Event yang digelar dalam rangka memperingati Hari Batik Nasional tersebut, diklaim memiliki perputaran uang mencapai miliaran rupiah. Namun dibalik gemerlapnya event Pekan Batik, ternyata masih ada para pengrajin batik kecil yang kembang kempis mempertahankan usahanya.
Di wilayah Pasirsari sebagai salah satu pusat lokasi 'mbabar', istilah untuk proses membatik oleh pengrajin, para pengrajin kecil mulai bertumbangan. Data Serikat Batik Pasirsari (Serbapas), dari jumlah lebih dari 150 pengrajin pada 2010 lalu, kini 10 persen diantaranya sudah benar-benar mati. Sisanya, juga tidak berjaya namun hanya berusaha untuk tetap hidup. Faktor naiknya harga bahan baku, hingga kondisi lingkungan yang terus dihajar banjir rob, membuat sebagian pengrajin memilih berhenti.
Arifin, salah satu pengrajin batik di RT 7 RW 4 mengaku bahwa sejak tahun 2015 lalu kondisi dirasakannya makin sulit. Penyebabnya, lokasi produksi rutin direndam banjir rob dan harga bahan baku yang naik tak terkendali. "Sehingga saya juga susah, mau produksi susah, mau jalan terus bagaimana, berhenti bagaimana. Akhirnya tetap mencoba bertahan sampai sekarang," tuturnya.
Berbagai upaya juga sudah dilakukannya termasuk memangkas jumlah pegawai dari sebanyak 60an menjadi saat ini hanya dikerjakan oleh 5 orang saja yang berasal dari keluarga sendiri. "Sekarang yang bekerja saya sendiri, istri, anak dan dua orang lainnya yaitu kakak saya dan satu cucu. Itu sejak 2014. Yang penting saya tetap bisa bertahan," tambahnya.
Upaya bertahan, kata Arifin, akan terus dilakukannya sembari berharap kondisi akan pulih kembali seperti dulu. Utamanya yaitu harga bahan baku yang kembali normal. "Saya apa adanya saja. Kalau ada pekerjaan saya garap kalau tidak ada ya tidak bekerja sambil berharap harga bahan baku ini kembali turun," ujarnya.
Kondisi tersebut tidak hanya dialaminya. Sejumlah pengrajin yang lain, dikatakan Arifin juga merasakan kondisi yang sama. Bahkan, dari 5 pengrajin kecil yang dulu ada di wilayah RT tersebut, kini hanya 3 yang tersisa. Itupun, statusnya hampir sama yakni hanya mencoba bertahan sambil berharap ada kebijakan-kebijakan yang mendorong usahanya kembali menggeliat.
"Harapannya ya bagamana pemerintah itu ada (kebijakan apa), atau apa dari pengusaha bisa mengajukan bantuan atau apa itu saya benar-benar menggantungkan dari sana saja nanti perkembangannya seperti apa. Jadi kami ini mohon untuk diperhatikan juga," katanya.
Pengrajin lainnya, Sohibal, menyatakan hal yang sama. Faktor naiknya harga bahan baku batik yang tak terkendali membuat para pengrajin semakin kesulitan. "Kalau saya istilahnya ini bukan naik tapi ganti harga. Misalnya saja, pewarna base merah dulu harganya Rp70 ribu sekarang Rp160 ribu. Kalau naik itu sedikit tapi ini sudah ganti harga karena 100% lebih," tuturnya.
Belum lagi jenis pewarna lain yang lebih bagus, kenaikkannya lebih mengerikan. Pewarna dengan harga Rp80 ribu saat ini mencapai Rp200 ribu hingga Rp250 ribu. Apalagi yang dulu seharga Rp250 ribu kini bisa mencapai lebih dari Rp500 ribu. Kemudian, naiknya harga bahan baku juga tidak diimbangi dengan naiknya ongkos 'mbabar'. "Ongkos mbabar itu hanya Rp500 naiknya. Dulu Rp13 ribu sekarang Rp13.500. Sehingga kalau jumlahnya mungkin lima kodi, ada lima warna, berarti 100 potong itu kami cuma dapat Rp50 ribu per lima kodi kenaikannya," jelas Sohib.
Sehingga menurutnya, pengrajin yang saat ini bertahan hanya bertujuan untuk menyambung hidup. Dia bahkan mengambil istilah 'bocor halus' untuk menggambarkan kondisi para pengrajin. Karena semakin lama maka akan semakin terpuruk jika kondisi tidak berubah. "Jalan tapi sebenarnya rugi. Tapi ya tetap harus dijalani. Karena orang kampung mau kerja apalagi, bisanya mbatik. Begitu istilahnya," katanya lagi.
Ditambah saat ini ada fenomena baru di dunia 'mbabar' dimana adanya makelar yang muncul di tengah-tengah pengusaha dan pengrajin. Adanya makelar, tentu saja makin mengurangi pendapatan pengrajin karena memotong biaya yang sudah dibayar oleh pengusaha. "Saya sebagai pelaku, kalau tidak ada perubahan bisa saja orang 'mbabar' ini habis. Karena saat ini saja banyak yang sudah mati," ujar warga RT 1 RW 4 tersebut.
Ketua Serikat Batik Pasirsari (Serbapas), Shodiqin HS membenarkan bahwa kondisi para pengrajin batik tengah anjlok. Faktornya utamanya yakni ekonomi global yang lesu dan naiknya harga bahan baku. Dikatakan Shodiqin, sudah ada 10% pengrajin yang usahanya berhenti. Sehingga jumlah pengrajin di Pasirsari yang sebelumnya berjumlah lebih dari 150an kini hanya tersisa sekitar 100 pengrajin. Statusnya pun hanya bertahan. Hidup segan, mati tak mau.
"Memang ada dinamika sebenarnya. Ada yang mati, tapi ada yang bertumbuh atau muncul baru terutama anak-anak muda. Tapi kalau keseluruhan, memang kondisinya sebagian besar sulit, hanya coba bertahan saja," tambah Shodiqin.
Apalagi fenomena adanya makelar yang sejak lima tahun terakhir mulai marak. Dikatakan Shodiqin, adanya makelar jelas membuat pendapatan pengrajin juga makin berkurang. Karena makelar ini memiliki kuasa penuh mengendalikan uang dari pengusaha sekaligus memilih pengrajin yang dinilai sesuai kriteria, utamanya berharga murah.
"Kondisi demikian memang harus mendapatkan perhatian, utamanya dari pemegang kebijakan. Disamping memang kita juga dituntut untuk kreatif merespon kondisi yang terjadi," tandasnya.(nul)