Komitmen Serius Mendukung UMKM

Jumat 01-03-2019,16:04 WIB

H. A. Hakam Naja

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) kerap disebut sebagai jantung perekonomian Indonesia. Bagaimana tidak, 60,34 persen Produk Domestik Bruto (PDB) disumbangkan oleh UMKM. Dari 62,93 juta unit usaha di Indonesia, sebesar 99,99 persennya merupakan UMKM yang menyerap 97,02 persen tenaga kerja atau berjumlah sebesar 116,70 juta jiwa (BPS 2015). Jumlah ini diprediksi terus bertambah hingga menyerap tenaga kerja sebesar 123,20 juta jiwa pada tahun 2018 (KemenkopUKM 2019).

UMKM juga disebut sebagai tulang punggung perekonomian. Pada tahun 1998 UMKM terbukti telah menjadi penyelamat di tengah krisis saat itu. UMKM dengan karakter struktur biaya yang rendah cenderung tidak terdampak besar oleh krisis finansial 1998, bahkan sebagian UMKM yang sudah berorientasi ekspor bisa menikmati nilai dollar yang menguat dengan tajam. Sejak saat itu, UMKM semakin disadari sebagai tulang punggung dan jantung perekonomian Indonesia.

Berbagai kebijakan lahir untuk memperkuat peran UMKM dan memaksimalkan potensinya. Melalui Undang-undang No. 20 tahun 2008 tentang UMKM, pemerintah pusat dan pemerintah daerah diamanatkan untuk dapat membuat UMKM naik kelas melalui penumbuhan iklim usaha, fasilitasi pengembangan, pembiayaan dan penjaminan, serta kemitraan dengan usaha besar untuk terwujudnya alih keterampilan dan teknologi.

Penumbuhan iklim usaha meliputi aspek pendanaan, sarana dan prasarana, informasi usaha, kemitraan, perizinan usaha, kesempatan berusaha, promosi dagang dan dukungan kelembagaan. Melalui aspek-aspek diatas pemerintah diamanatkan untuk mendorong kondusifitas untuk membuka usaha sebesar-besarnya. Dalam konteks pengembangan, UMKM yang telah mulai menjalankan usaha diamanatkan UU untuk difasilitasi melalui 4 aspek mendasar yaitu meliputi bidang produksi dan pengolahan; pemasaran; sumber daya manusia; serta desain dan teknologi.

Urusan berikutnya adalah permasalahan yang paling menjadi momok dalam mendorong UMKM naik kelas yaitu terkait dengan pembiayaan dan penjaminan. Melalui UU ini Pemerintah dan Pemerintah Daerah diwajibkan menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Kecil. Usaha Mikro yaitu yang memiliki kekayaan bersih paling banyak 50 juta rupiah dan omzet tahunan paling banyak 300 juta serta usaha Kecil yang memiliki kekayaan bersih paling banyak 500 juta dan omzet tahunan paling banyak 2,5 miliar dapat difasilitasi oleh pemerintah pembiayaan dalam mendorong pengembangan usahanya. Sementara itu untuk Usaha Menengah dengan omzet 2,5 miliar sampai dengan 50 miliar akan difasilitasi dan didorong oleh Pemerintah untuk peningkatan pembiayaan modal kerja dan investasi melalui perluasan sumber dan pola pembiayaan, akses terhadap pasar modal, dan lembaga pembiayaan lainnya.Pemerintah juga diamanatkan untuk mengembangkan lembaga penjamin kredit dan meningkatkan fungsi lembaga penjamin ekspor untuk mendukung Usaha Menengah.

Selanjutnya adalah kemitraan antara UMKM dengan Usaha Besar yaitu usaha dengan omset diatas 50 miliar. Dalam kemitraan yang dibentuk dengan beragam format seperti inti-plasma, subkontrak, waralaba, perdagangan umum, distribusi dan keagenan, bagi hasil, kerjasama operasional, usaha patungan (joint venture), serta penyumberluaran (outsourcing) diharapkan UMKM mendapatkan alih keterampilan dan kapasitas dari Usaha Besar sehingga mudah untuk naik kelas. Kementerian terkait diamanatkan untuk mengatur pemberian insentif pada Usaha Besar yang menjalin kemitraan dengan UMKM agar kerjasama yang terbentuk berkelanjutan.

Implementasi UU UMKM

Strategisnya peran UMKM terhadap perekonomian dan adanya aturan dalam kerangka UU yang berorientasi kuat dalam menaikkelaskan UMKM seperti yang telah dipaparkan sebelumnya ternyata belum mampu untuk membuat UMKM menjadi primadona perekonomian. Hal ini terlihat dari UMKM yang hanya mampu menikmati 17,69 persen pangsa ekspor non-migas, sementara Usaha Besar yang berjumlah tidak sampai 0,01 persen menguasai 82,31 persen pasar ekspor. Hal ini terjadi karena UMKM umumnya masih bergerak di sektor yang bernilai tambah rendah.

Secara sektoral sebesar 48,90 persen UMKM bergerak di sektor primer (pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan) dan 28,80 persen pada perdagangan (BPS, 2015). Hanya 22,3 persen UMKM Indonesia yang bergerak pada sektor yang memiliki nilai tambah tinggi yaitu industri pengolahan dan jasa. Angka ini terpaut cukup jauh dari negara lain di ASEAN seperti Thailand yang 56,4 persen UMKMnya bergerak di industri pengolahan dan jasa.

Keberpihakan terhadap UMKM untuk menjadi motor perekonomian nasional memang masih perlu untuk didorong secara serius. Amanat UU no. 20 tahun 2008 yang sudah relative komprehensif dalam mendukung dan mengoptimalkan potensi UMKM belum maksimal diimplementasikan baik di tingkat nasional maupun daerah. Bahkan, masih sering ditemukan ketidakkonsistenan kebijakan dalam mendukung UMKM.

Belasan paket deregulasi yang diterbitkan pemerintah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi yang diluncurkan semenjak pertengahan tahun 2015 pada awalnya bersifat sangat suportif terhadap pengembangan UMKM. Dalam paket IV terdapat kebijakan untuk mempermudah akses terhadap kredit, paket X dan XI bertujuan untuk memperkuat proteksi produk-produk strategis serta pendampingan terhadap pelaku UMKM. Akan tetapi paket terakhir yang ke XVI, terjadi pelonggaran 54 bidang usaha yang mendapat relaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI) dimana asing boleh berinvestasi hingga 100 persen dalam dalam bidang usaha tersebut yang diantaranya adalah pengusahaan pariwisata alam, industri kayu ulir, jasa surveyor migas, dan lainnya. Walaupun pada akhirnya direvisi, ketidakkonsistenan ini menjadi catatan buruk dalam keberpihakan terhadap UMKM.

Implementasi amanat UU No. 20 tahun 2008 tentang UMKM sangat memerlukan komitmen pemerintah dan semua pemangku kepentingan yang terkait. UU UMKM yang telah menyentuh persoalan mendasar dari UMKM ini jika dijalankan dengan serius dan penuh komitmen tentu saja seharusnya dapat membuat UMKM lebih besar lagi kontribusinya untuk perekonomian. Saat ini di DPR juga sedang bergulir pembahasan tentang RUU Kewirausahaan Nasional yang bahasannya berfokus pada percepatan pertumbuhan pengusaha dan keseriusan pemerintah dalam menetapkan anggaran kewirausahaan di APBN serta APBD provinsi dan kabupaten/kota. Percepatan dan komitmen dalam mendukung UMKM merupakan agenda penting yang butuh komitmen serius kita bersama.

Oleh: H. A. Hakam Naja

Anggota DPR/MPR RI Fraksi PAN

Tags :
Kategori :

Terkait