Kondisi Darurat TPA Degayu

Rabu 24-02-2021,12:30 WIB

KOTA - Kondisi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Degayu makin hari makin memprihatinkan. Tiap hari sampah yang dibuang terus bertambah, sedangkan tempat penampungan terus menyusut. Saat ini pun, sampah yang ditampung dia dua zona aktif sudah menggunung hingga mencapai ketinggian 17 meter. Gunungan sampah di sisi timur TPA, bahkan dilaporkan longsor akibat banjir belum lama ini.

Dampaknya, tumpukan sampah menutupi akses armada sehingga sementara waktu sampah ditumpuk di depan kantor TPA. Sebagian lainnya, longsor ke arah tambak milik warga yang dikhawatirkan limbah lindi dapat mencemari kolam tambak di sekitar. "Situasinya sudah sangat memprihatinkan," ungkap Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Purwanti dalam rapat kerja bersama Komisi B DPRD Kota Pekalongan, Selasa (23/2/2021).

Sehingga pihaknya memutuskan untuk terpaksa mengaktifkan kembali zona 1 yang sudah lama pasif setelah diurug tanah. Padahal zona tersebut secara teknis juga sudah tidak layak difungsikan. "Tapi kami khawatir kondisi sampah akan semakin penuh dan tidak tahu harus dibuang ke mana lagi. Sehingga mulai hari ini zona 1 mulai kembali dibuka," jelasnya.

Kemudian, pihaknya juga akan mengambil opsi untuk membuka zona 4 yang Detail Engineering Desain (DED) nya sudah dibuat pada 2020 lalu. Namun keputusan pembukaan zona 4 juga memiliki berbagai pertimbangan. Seperti lokasinya yang berdekatan dengan sungai yang dikhawatirkan juga akan berdampak kepada masyarakat. Sehingga konstruksinya harus dibuat kedap dengan beton. Dengan konstruksi demikian, dibutuhkan biaya pembangunan sebesar Rp 19 miliar.

Namun dikatakan Purwanti, menurut perhitungan usia teknis zona 4 dengan ketinggian gunungan sampah mencapai 5 meter hanya akan bertahan selama delapan tahun. Spesifikasi konstruksi memang bisa diturunkan, namun menurut Purwanti konsekuensinya limbah lindi dari sampah bisa mencemari wilayah sekitar.

Dia menyatakan bahwa sampai saat ini belum ada opsi lain sebagai solusi masalah TPA Degayu. Salah satu opsi yang sempat mencuat yakni pembuatan TPA regional, juga tidak berlanjut. "TPA regional sudah pernah dua kali pembahasan dengan lokasi yang berubah dan dua-duanya deadlock. Di Batang ditolak warga, kemudian dipindah ke Kabupaten Pekalongan di dua lokasi yang juga ditolak warga sekitar," ujarnya.

Setelah itu, kajian tentang TPA regional yang sudah disusun Bappeda Provinsi berhenti dan tidak ada perkembangan lagi. "Setiap kali Musrenbang Provinsi, kami juga selalu titip tentang TPA regional. Tapi tidak pernah ada respon," katanya.

Solusi lain yang sempat muncul yakni pengadaan insenerator atau alat pembakar sampah, juga dinilai tak efektif. Sebab menurut Purwanti, insenerator yang bisa dibeli saat ini hanya memiliki kapasitas maksimal 3 ton per hari. Anggaran yang ada, hanya bisa untuk membeli dua mesin sehingga per hari kapasitas pembakaran maksimal 6 ton. Padahal setiap harinya, sampah yang masuk ke TPA Degayu mencapai 100 ton.

Menanggapi kondisi tersebut, Ketua Komisi B DPRD Kota Pekalongan, Abdul Rozak menyatakan bahwa harus ada upaya lebih keras dari Pemkot Pekalongan ke provinsi untuk intervensi masalah TPA regional. Sebab menurutnya, TPA regional menjadi salah satu solusi yang paling aman. Kota Pekalongan dikatakanya juga siap untuk membayar retribusi dan turut membiayai pembangunan TPA regional.

"DLH harus membuat kajian, lengkap dengan visualisasi yang menggambarkan bagaimana TPA kita. Dari situ, laporkan kepada wali kota dan bersama bisa maju untuk melobi Pak Gubernur. Untuk merealisasikan itu, memang juga harus dilakukan lewat jalur politik agar Gubernur juga bisa turun untuk intervensi masalah ini," katanya.

Rozak melihat, solusi lain termasuk yang telah dipaparkan kepala DLH semuanya tidak efektif. Seperti pembukaan zona 4 dengan biaya Rp 19 miliar dan hanya bertahan 8 tahun. Berarti jika dihitung, per tahun harus dikeluarkan biaya Rp 2 miliar dan setelah 8 tahun zona 4 juga tak lagi bisa digunakan.

Menurutnya, jika dilihat dari efisiensi anggaran akan lebih baik turut membiayai pembangunan TPA regional dan membayar retribusi setiap tahun namun dengan jaminan usia teknis yang lebih panjang. "Kalau diakumulasi, maka bisa didapatkan biaya yang lebih rendah. Kalau zona 4 itu sangat mahal dna potensi kerawanannya tinggi," ujarnya.

Sehingga, dengan TPA regional sebagai salah satu solusi yang paling efektif dirinya meminta DLH segera bergerak untuk membuat kajian yang lengkap, termasuk visualisasi kondisi TPA dengan video. Hasil kajian, segera dilaporkan ke wali kota dan ditindaklanjuti untuk menghadap ke Gubernur agar bisa turut mengintervensi masalah TPA Kota Pekalongan.

"Kalau tidak ada jalan keluar, ini akan berdampak luar biasa. Kota Pekalongan bisa menjadi kota kumuh," tandasnya.(nul)

Tags :
Kategori :

Terkait