Semarang – Video-video terbaru sering kali memperlihatkan aksi pengendara motor yang mengangkat roda depannya, sementara roda belakang tetap bersentuhan dengan aspal untuk melaju.
Aksi ini sering berakhir dengan kecelakaan, kerusakan, bahkan kematian.
Manuver berbahaya ini tidak dianjurkan untuk semua orang karena risikonya yang tinggi.
Fenomena ini tidak hanya merugikan pelakunya, tetapi juga telah menyebabkan kerugian bagi orang lain.
Fenomena wheelie, di mana pengendara mengangkat roda depan motor, berawal dari dunia balap, khususnya motocross dan flat track.
Di Amerika Serikat pada dekade 60-an dan 70-an, komunitas biker sering melakukan wheelie sebagai simbol pemberontakan dan keberanian.
Geng motor juga mengadopsi wheelie sebagai bagian dari identitas dan budaya mereka, dengan variasi postur berdiri selama melakukan wheelie.
Namun, kemampuan wheelie sering keliru dianggap sebagai lambang keberanian dan kemahiran mengendarai motor.
Pada dekade 80-an dan 90-an, wheelie menjadi semakin populer di kalangan remaja, menjadi bagian dari budaya urban dan hiburan.
Kontes dan pertunjukan freestyle mulai diadakan untuk merayakan tren ini.
Wheelie dan standing berbeda dalam hal postur pengendara; wheelie dilakukan dengan duduk, sementara standing dilakukan dengan berdiri di atas footstep atau barstep.
Wheelie pertama kali muncul dalam balap motocross saat start. Pembalap berusaha mendapatkan posisi terdepan setelah start, terutama dalam balap motocross yang posisi startnya sejajar.
Mereka menahan gas untuk memaksimalkan torsi mesin. Mesin motocross yang kuat membuat ban depan mudah terangkat saat kopling dilepas.
Di lintasan lurus, pembalap motocross sengaja membuat roda depan melayang untuk melewati permukaan tanah yang tidak rata tanpa hambatan.
Tujuan awal wheelie bukan untuk hiburan atau pamer keberanian, melainkan teknik balap untuk akselerasi dan kontrol di lintasan motocross.