TKA: Standarisasi Evaluasi untuk Menghapus Ketimpangan Sekolah
Rezza Fahlevi, Ketua PW IPM Jawa Tengah 2023/2025 Bidang PIP (Keilmuan).--
Oleh : Rezza Fahlevi
Selama beberapa tahun belakangan, kita sering mendengar aduan mengenai ketidaksetaraan kualitas pendidikan. Murid yang memperoleh nilai rapor 90 dari sebuah sekolah, ternyata memiliki kemampuan berbeda dari murid lain yang menerima tanda serupa dari institusi pendidikan yang lain. Perbedaan standar penilaian ini mencipta ketidakadilan, terutama apabila anak-anak kita bersaing untuk meneruskan pengajian ke peringkat yang lebih tinggi. Situasi ini bukan hanya di Pekalongan, tetapi juga di seluruh Indonesia. Walau bagaimanapun, seiring dengan penetapan Peraturan Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (Perkaban) Nomor 047/H/AN/2025 tentang Kerangka Asesmen Tes Kemampuan Akademik (TKA), angin segar harapan mulai berhembus.
Urgensi TKA
Landasan hukum pelaksanaan TKA diakui dan dilembagakan secara legal. TKA ini bagian dari sistem evaluasi pendidikan nasional. Tercantum pada UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Perda urusan pendidikan, Perpres No. 188 Tahun 2024 tentang Kemendikdasmen, dan Permendikdasmen No. 9 Tahun 2025 tentang TKA, hingga Perkaban ini yang menetapkan kerangka acuan pelaksanaan TKA. TKA hadir sebagai koreksi terhadap ketidaksetaraan dan ketidakadilan penilaian di masa lalu, serta untuk memulihkan sistem evaluasi yang adil dan standar di seluruh sekolah. TKA dirancang memiliki filosofi adil, setara, dan objektif.
TKA dibawa masuk sebagai jawaban terhadap isu ini. Sebagai suatu tes yang berstandar, TKA bertujuan untuk memberikan laporan pencapaian akademik individu yang lebih objektif dan boleh dibandingkan antara institusi pendidikan. Tujuan ini sangat penting. Dengan adanya standar yang seragam, kita dapat mendapat gambaran yang lebih jujur dan adil mengenai tahap penguasaan kompetensi intelek siswa. Ini menjamin keadilan bagi murid dari sekolah yang mempunyai standar penilaian tinggi, yang sebelum ini mungkin dirugikan dalam proses pemilihan. Bagi kami di Pekalongan, ini bermakna anak-anak terbaik kami akan memiliki peluang setara untuk bersaing, tanpa mengira di mana mereka mendapat pendidikan. Mereka tidak lagi dinilai dari label sekolah, tetapi ditinjau dari kompetensi yang mereka punya.
Lebih dari sekadar instrumen seleksi, TKA memiliki potensi besar sebagai alat penjaminan mutu pendidikan. Kerangka penilaian dirancang untuk mengukur pemahaman konseptual, kemampuan memecahkan masalah, dan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking). Dengan berfokus pada kemampuan membaca untuk Bahasa Indonesia dan kemampuan matematika untuk Matematika, TKA tidak dirancang untuk menguji hafalan. Sebaliknya, TKA mendorong siswa untuk berpikir kritis dan aplikatif. Misalnya, soal-soal TKA Bahasa Indonesia menekankan kemampuan siswa untuk membaca teks fiksi dan nonfiksi untuk mengidentifikasi informasi, menyimpulkan, mengevaluasi, dan mengapresiasi. Ini adalah keterampilan dasar yang dibutuhkan untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat.
TKA Mengubah Cara Belajar dan Mengajar
Penekanan pada kompetensi TKA memiliki dampak positif lainnya. Setelah guru dan sekolah menyadari bahwa penilaian tidak lagi berbasis memori, mereka secara alami akan menyesuaikan metode pengajaran mereka. TKA dapat menjadi model bagi para pendidik tentang cara menilai pemahaman yang sebenarnya, bukan hanya retensi. Hal ini akan menciptakan lingkungan belajar yang lebih mendalam dan bermakna. Di Pekalongan, kita dapat membayangkan guru Bahasa Indonesia mendorong siswa mereka untuk lebih sering berdiskusi, menganalisis, dan merefleksikan bacaan. Guru matematika akan lebih memperhatikan bagaimana siswa memecahkan masalah dalam konteks sehari-hari, alih-alih rumus apa yang harus diterapkan. Dengan demikian, kualitas pembelajaran akan meningkat seiring dengan peningkatan kapasitas pendidik dan kualitas pembelajaran pun ikut naik.
Yang tidak kalah pentingnya, TKA juga memberi pengakuan terhadap hasil belajar bagi siswa didik dari jalur pendidikan nonformal dan informal. Pekalongan dan sekitarnya memiliki banyak anak dan siswa yang belajar di luar jalur formal, entah itu di pesantren, lembaga kursus, atau bahkan belajar mandiri. Biasanya anak ini sulit sekali mendapatkan pengakuan yang setara. Dengan adanya TKA, mereka sekarang memiliki kesempatan untuk membuktikan kemampuan mereka dan bisa diberikan pengakuan resmi oleh pemerintah, yang tentu saja membuka jalan mereka untuk melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Ini adalah bukti nyata bahwa pemerintah benar-benar serius dalam upayanya mewujudkan pendidikan yang inklusif dan berkeadilan bagi semua.
Kesempatan yang Adil dan Merata
Tentu saja, hal ini bukan berarti bahwa segalanya berakhir dengan TKA. Verifikasi ini jelas menyebutkan bahwa TKA bukanlah penentu kelulusan peserta didik. Keputusan kelulusan tetap ada di tangan guru dan manajemen satuan pendidikan yang benar-benar memahami bagaimana siswanya selama belajar. TKA hanyalah instrumen pelengkap yang membantu kita memetakan mutu hasil belajar secara lebih objektif.
Kehadiran Perkaban Nomor 047/H/AN/2025 tentang Kerangka Asesmen TKA. Kebijakan ini berpotensi meningkatkan standar mutu pendidikan di jenjang sekolah dasar dan menengah di Pekalongan. Sistem penilaian kinerja guru yang lebih obyektif dan terukur akan mampu mengoptimalkan peran penting tenaga pengajar. Dengan memperhatikan kompetensi pedagogik, kepribadian, dan profesionalitas, TKA diharapkan menjadi media untuk terus mengembangkan kualitas sumber daya manusia di masa depan. Selain itu, hasil asesmen ini juga berfungsi sebagai pedoman bagi pemerintah dalam merancang program peningkatan kompetensi guru secara berkelanjutan. Penerapan kebijakan TKA ini sangat tepat untuk mendongkrak mutu pendidikan agar mampu menghasilkan generasi muda yang tangguh dan unggul.
Penulis adalah Ketua PW IPM Jawa Tengah 2023/2025 Bidang PIP (Keilmuan).
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:

