AWAS DEMAM BERDARAH!
Yang kedua, kata dia, mobilitas orang. Sama dengan Covid, mobilitas tinggi jadi faktor risiko penyebarannya. "Seseorang yang menderita sakit kan tidak pasti menunjukkan gejala. Jika kondisinya fit, ada virus demam berdarah di tubuhnya tapi dia ndak sakit. Tapi begitu dia digigit nyamuk, disedot darahnya. Nyamuk itu lalu gigit orang yang lemah posisinya, pindah lah virus ke orang yang lemah itu. Akhirnya orang yang lemah itu baru muncul gejalanya," terang dia.
Yang ketiga, lanjut dia, pengetahuan masyarakat masih kurang tentang DB. Menurutnya, masyarakat cenderung ambil jalan pintas saat sakit. "Dia akan cenderung beli obat ke warung. Setelah ndak turun-turun panasnya baru dia akan mencari bidan, perawat, atau dokter. Ini bisa sebabkan fatalitas seperti kematian," ungkapnya.
PELANA KUDA
Direktur RSUD Kajen dr Imam Prasetyo dalam wawancara sebelumnya mengungkapkan,
DB biasanya panas 2 sampai 7 hari. Hari ke 3, 4, dan 5 harus diperhatikan sekali. Kurva panasnya kayak pelana kuda. "Hari satu dua naik, hari 3, 4, 5 turun, nanti hari ke 6, 7 baru naik. Biasanya pertolongannya itu di hari ke 3, 4, 5. Masyarakat waspada di hari ketiga, empat, dan lima," katanya.
Sudaryanto mengatakan, pihaknya terus menggerakkan masyarakat terutama kader untuk lakukan monitoring jentik. Tapi jika itu tidak didukung partisilasi masyarakat, tidak akan berhasil. "Karena kunjungan mungkin hanya seminggu atau dua minggu sekali. Nyamuk itu netesnya cepat. Kami harapkan ada upaya dari teman-teman kader untuk memantau jentik tapi juga ada peran aktif dari masyarakat secara mandiri," tandasnya.
ATURAN FOGGING
Ia pun menyinggung fogging (pengasapan). Menurutnya, Dinkes lakukan fogging berdasarkan surat edaran Kementerian Kesehatan. Pertama, fogging dilakukan berdasarkan penyelidikan epidemiologi. "Apa itu epidemiologi. Kunjungan ke kasus. Di sana dinilai.
Angka bebas jentiknya berapa. Ada kasus tambahan atau tidak. Itu nanti dituangkan dalam sebuah laporan. Kita nanti kaji di tingkat kabupaten. Ini apakah harus segera kita fogging atau cukup dengan PSN," terang dia.
Diakuinya, jika ada kasus DB masyarakat ingin lingkungan langsung difogging. Padahal menentukan seseorang sakif DB atau tidak, itu ada kriterianya. Ada nilai laboratoriumnya. Di antaranya, trombositnya di bawah 100 ribu, dan ada kenaikan hematokrit lebih dari 25 persen. "Itu baru masuk DB. Kalau ndak berarti suspek," katanya.
Yang patut diingat, lanjut dia, fogging itu tidak menyelesaikan masalah. Hanya mengendalikan kasus. "Kita fogging dari jam 6 pagi, jam 9 selesai. Jika ada uget-uget (jentik) di bak mandi, di penampungan air, di tandon, di ban bekas, yang tidak dibersihkan oleh masyarakat. Maka jam 12 siang sudah netes.
Nyamuknya sudah beterbangan lagi. Ini kan juga menjadi sebuah faktor risiko. Jika kita fogging, kita harapkan masyarakat kerja bakti bersihkan lingkungam dan menguras bak mandi. Selagi lagi tidak ada kesadaran bersama, fogging ndak ada manfaatnya," ujar dia. (had)
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
