Hujan, Petani Cabai Gagal Panen
**Busuk Buah dan Penyakit Kuning Menyerang
PANINGGARAN - Akibat musim ekstrem, petani cabai di Kecamatan Paninggaran, Kabupaten Pekalongan mengalami gagal panen. Petani pun mengalami kerugian hingga ratusan juta rupiah dan tidak bisa menikmati lonjakan harga yang tinggi di pasaran. Petani cabai dari Desa Lambanggelun, Kecamatan Paninggaran, HM Nasron, Minggu (9/2/2020), mengatakan, akibat musim hujan yang tinggi dirinya mengalami kegagalan panen. Dikatakan, pada musim kemarau lalu dirinya mencoba menanam cabai seluas 2 haktare di wilayah atas tersebut. Namun, ia gagal panen sehingga mengalami kerugian sekitar Rp 300 juta.
"Kita mengalami gagal panen akibat terlalu banyak curah hujan. Kita yang nanam 2 haktare baru panen tujuh kali petik sudah pada busuk," terang dia.
Ia pun tak patah semangat dengan mencoba menanam cabai seluas 1 hektare. "Kita nanam lagi satu hektare baru mulai berbuah tapi kelihatannya mulai busuk. Kita tidak bisa menanggulangi busuk buah dan daun menguning. Ini sangat sulit. Kita belum temukan obatnya," keluh dia.
Disebutkan, untuk tanaman cabai seluas 1 hektare biaya produksinya sekitar Rp 150 juta. "Saya nanam dua hektare biayanya sekitar Rp 400 juta, karena menanam saat musim kemarau sehingga butuh biaya tambahan untuk diesel, paralon, dan sebagainya. Paling kembali sekitar Rp 50 juta," kata dia.
Dikatakan, ia menanam 40 ribu batang dan baru metik enam hingga tujuh kali, dengan harga saat itu Rp 17 ribu hingga Rp 20 ribu perkilonya. Pada usia tanaman empat bulan, kata dia, buah busuk dan tanaman daunnya menguning. Sehingga kerugian yang dialaminya mencapai Rp 300 juta.
Nasron yang juga anggota DPRD Kabupaten Pekalongan dari Fraksi PKB ini berharap, pemerintah harus turun tangan ketika ada petani yang bisa enterpreneur atau membuat terobosan-terobosan selain padi. Sebab, kata dia, di daerah atas petani padi juga rugi. "Satu hektare paling 3 ton. Kan rugi. Jadi harus ada terobosan-terobosan selain padi," kata dia.
Apalagi, lanjut dia, Paninggaran yang tadinya sentra cengkih sekarang hancur produksi cengkihnya. Padahal ketika panen cengkih, ujar dia, sirkulasi uang di Paninggaran selama siklus musim panen sekitar Rp 30 miliar. "Ketika cengkih ini habis, pemerintah ini harus turun tangan kira-kira gantinya apa. Petani itu akan diarahkan ke mana untuk pengganti cengkih.
Nanam panili atau apa. Sekedar bantuan bibit, tidak cukup harus ada pelatihan-pelatihan kan sekarang sudah ada IPB," kata dia.
Hal senada diungkapkan Priyo, petani dari Desa Garungwiyoro, Kecamatan Kandangserang. Akibat harga cabai yang fluktuatif dan rentan terserang hama dan penyakit tanaman, sejak dua tahun lalu ia memutuskan untuk tidak lagi menanam cabai.
"Sudah dua tahun saya tidak tanam lagi. Karena sejak pertengahan 2017 hingga awal tahun 2018 nanam banyak tapi harganya hancur terus makanya sekarang ndak nanam lagi. Belum serangan hama dan penyakit tinggi," kata dia.
Disebutkan, jika harga cabai di pasar tembus Rp 80 Ribu perkilo, harga di tingkat petani paling sekitar Rp 35 ribu. Pasalnya, banyak tengkulak bermain di sektor pertanian seperti cabai ini.
Sementara itu, salah seorang petani di Desa Yosorejo, Kecamatan Petungkriyono, Bambang, mengakui untuk saat ini banyak petani yang tidak menanam cabai akibat serangan penyakit kuning. Menurutnya, petani di daerah pegunungan ini menerapkan sistem pola tanam gilir antara tanaman cabai dengan sayuran. Pola tanam gilir ini untuk menekan penyakit kuning yang rawan menyerang tanaman cabai. (had)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: