Persyaratan Caleg Dirasa Memberatkan
KAJEN - Sejumlah tokoh masyarakat dan politik yang pada Pemilu 2019 ikut nyaleg mengaku ada beberapa persyaratan pencalegan memberatkan mereka. Di antaranya, keterbatasan dokter spesialis jiwa sehingga mereka harus antre berhari-hari untuk bisa mendapatkan syarat kesehatan, lamanya pengurusan NPWP, hingga persyaratan legalisir ijazah sekolah yang berada di luar daerah.
Berbagai beban persyaratan pencalegan itu mengemuka dalam acara FGD Evaluasi Pencalonan DPRD yang diselenggarakan KPU Kabupaten Pekalongan di Hotel Dafam, Rabu (9/10). FGD ini dihadiri sekitar 50 peserta, di antaranya dari perwakilan parpol, perwakilan caleg, Bawaslu, wartawan, dan instansi terkait.
"Untuk syarat NPWP semestinya syarat untuk anggota DPRD yang jadi, bukan syarat pencalonan DPRD. Syarat ngurus ini belum ada respon dari Kantor Pajak. Kami harus antre berjam-jam hingga sore baru bisa dilayani. Semoga ke depan ada pendekatan oleh KPU ke Kantor Pajak agar caleg tidak antre berjam-jam," ujar perwakilan dari PDI Perjuangan, Burhan.
Selain NPWP, Burhan menyoroti persyaratan tes kejiwaan. Menurutnya, dengan adanya satu dokter jiwa yang kerjanya merangkap di RSUD Kajen dan Kraton membuat para caleg yang mencari syarat itu kesulitan. "Saya antre dua hari baru dapat syarat ini. Selain itu, syarat lainnya agar bisa diurus dimanapun. Seperti SKCK tidak harus diurus di alamat yang ada di KTP karena domisili caleg belum tentu sesuai dengan alamat KTP. Demikian pula untuk syarat penetapan PN, kesehatan, dan lainnya," kata dia.
Perwakilan parpol lainnya juga menyinggung legalisir ijazah. Pasalnya, ada caleg yang harus menempuh perjalanan satu hari menjelang masa penutupan pendaftaran lantaran kurangnya melegalisir ijazahnya di Jawa Timur. "Ini masih lumayan masih di Jawa. Coba bayangkan caleg yang sekolahnya di luar Jawa," ungkap dia.
Supriyanto, dari Perindo, memberi masukan agar praktik money politik pada Pemilu bisa ditekan. Sebab, pada kenyataannya praktik itu masih marak. "Secara realita dan kasat mata praktik money politik ada. Politik tanpa uang memang tidak mungkin, tapi paling tidak bisa ditekan. Sehingga budaya beli suara bisa diminimalisir. Ini untuk perbaikan bangsa ini ke depannya juga. Jika budaya ini masih marak, maka yang duduk di DPRD hanya orang yang berduit semua," ujar dia.
Sementara itu, perwakilan dari Partai Gerindra menolak Pemilu dilakukan secara serentak seperti pada tahun 2019 kemarin.
Sementara itu, Ketua KPU Kabupaten Pekalongan Abi Rizal, mengatakan, KPU Kabupaten Pekalongan mengadakan evaluasi pencalonan DPRD Pemilu 2019.
Menurutnya, ada beberapa hal yang mungkin dalam pencalonan kemarin itu dari para caleg ada kendala. Misalnya, kata dia, di forum mengemuka terkait dengan persyaratan kesehatan yang dokternya hanya satu se-Karisidenan Pekalongan. "Yang kejiwaan itu sehingga harus berbagi tugas ke tempat lain. Kedua ada syarat lain terkait NPWP dan sebagainya yang menurut mereka dirasa ada keberatan. Harusnya masukannya NPWP itu dipersyaratkan bagi calon yang sudah jadi. Bukan pada saat pendaftaran," kata Abi.
Dikatakan, masukan yang ada di FGD itu akan dihimpun dan diserahkan ke KPU provinsi. Yang nantinya akan diserahkan ke KPU RI untuk bahan masukan penyelenggaraan Pemilu ke depan. (ap5)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: