Biaya PTSL Sesuai SKB 3 Mentri Sudah Tidak Relevan Lagi, Harus Diubah

Biaya PTSL Sesuai SKB 3 Mentri Sudah Tidak Relevan Lagi, Harus Diubah

Penasehat Paguyuban Kepala Desa Kabupaten Batang, Sang Pamomong, Dr Agung Wisnu Barata.--

BATANG - Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri terkait biaya proses Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap atau PTSL sebesar Rp150 ribu, dinilai sudah tidak relevan lagi.

Pasalnya, dalan pelaksaan program dari Pemerintah Pusat melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) itu biaya yang dibutuhkan di lapangan lebih dari itu.

Akibatnya, muncul tambahan biaya yang besarannya telah disepakati melalui musyawarah desa. Namun hal itu tentu saja melanggar dari ketentuan yang ada dan berpotensi menjerahat hukum para perangkat desa yang menjadi petugas lapangan PTSL. 

Kondisi tersebut mengundang keprihatinan dari Penasehat Paguyuban Kepala Desa Kabupaten Batang, Sang Pamomong, Dr Agung Wisnu Barata.

"Berdasarkan hasil pengamatan, untuk program PTSL ini sering muncul masalah, dan yang menjadi korban perangkat desa dalam hal ini kades yang menjadi petugas di lapangan," ungkap Aging Wisnu, pada awak media, kemarin.

Aging Wisnu menjelaskan, dari fakta faktual yang ada di Batang, setiap kali muncul persoalan terkait program PTSL yang sering menjadi korban adalah kepala desa. Hal itu terjadi akibat pengambilan kebijakan dengan adanya biaya tambahan. 

"Sebagai warga, kami melihat permasalahan yang terjadi di lapangan yang menjadi pokok permasalahannya yaitu adanya regulasi yang dibuat oleh 3 menteri yang menentukan biaya paket itu sebesar Rp150 ribu. Namun dalam prakteknya banyak dilanggar, karena sudah sangat sangat tidak layak," jelas pria yang juga menjabat Kepala Kesbangpol Kabupaten Batang ini.

Menurutnya dengan adanya SKB 3 menteri tersebut, maka apabila muncul tambahan biaya dalam pelaksanaannya, maka hal itu berpotensi melanggar hukum. Meskipun tambahan biaya itu diputuskan melalui musyawarah desa.

"Karena itulah, perlu adanya revisi ataupun pembuatan aturan baru. Mengingat nilai Rp150 ribu itu sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini," tegas Agung.

Lebih lanjut dijelaskan, program PTSL sendiri bukan tugas pokok yang harus dilaksanakan oleh pemerintahan desa. Namun itu menjadi tugas tambahan yang merupakan instruksi dari dari Pemerintah Pusat. 

"Untuk kepastian hukumnya seharusnya dari badan pertanahan itu sendiri yang membentuk kepanitiaan sampai di tingkat desa. Jadi siapa - siapa yang bertanggung jawab dengan harga Rp 150 ribu jelas. Apakah bisa dilaksanakan atau tidak? Saya yakin itu tidak bisa, jadi jangan sampai adanya program ini akan ada banyak korban," bebernya.

Agung juga memberikan solusi agar BPN untuk membentuk kepanitiaan khusus dalam program PTSL dan BPN bertanggungjawab penuh, bukan desa yang bertanggungjawab. 

"Bentuklah lembaga lain  yang bertanggung jawab, jangan dibebankan ke pemerintah desa. Namun pemerintah desa hanya bersifat membantu program itu saja," tandas Agung. (don)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: