Banyak Anak Korban Kekerasan Seksual Tak Melapor

Banyak Anak Korban Kekerasan Seksual Tak Melapor

DIALOG - Perwakilan Kementrian PPA dan Unicef berdialog dengan tenaga pendidikan usai deklarasi Sekolah Internet Sehat dan Aman di MA Hifal Kota Pekalongan.-Ainul Atho-

KOTA - Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA, Ciput Eka Purwianti mengungkapkan, rata-rata anak tidak melapor ketika mengalami kekerasan seksual baik secara daring maupun luring. Hal itu terjadi karena mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan saat mnjadi korban kekerasan seksual, khususnya di ranah daring.

"Di ranah luringpun ketika jadi korban langsung kekerasan seksual, ada satu hal yang dialami pertama oleh korban adalah shock, kaget. Itu yang membawa kesulitan lebih jauh kepada si korban,” jelasnya.

Dikatakan Ciput, jika dirunut lagi ke belakang korban anak banyak yang tidak tahu karena banyak orang tua yang tidak memberikan pemahaman bagaimana dia menjaga tubuhnya sendiri. Sehingga anak-anak tidak tahu bahwa tindakan yang mengarah ke pencabulan dan kekerasan seksual itu adalah tindakan pidana. “Mereka bisa saja tidak paham bagaimana untuk menghindar sebelum mereka mengarah untuk jadi korban apalagi mereka melapor,” katanya.

Untuk meningkatkan kecakapan anak memahami hal-hal ini bahaya di sekitar dirinya baik dari teman sebaya atau orang dewasa, sesuai dengan UU perlindungan anak mengamanatkan orang tua wajib memberikan perlindungan kepada anaknya. Kemudian yang diberi tanggung jawab itu adalah keluarga.

“Jadi diluar orang tua yaitu ayah dan bunda, pada saat anak-anak tinggal di lingkup keluarga, anggota keluarga yang lain punya kewajiban untuk memastikan anak-anak tersebut terlindungi,” imbuhnya.

Ciput mengatakan, Pemerintah bermitra dengan UNICEF di 20 kabupaten/kota di Jawa tengah membawa setiap pemimpin daerah sampai dengan tingkat desa dan kelurahan untuk menjadi kawasan yang ramah bagi anak. Karena Pemerintah tidak bisa bisa bekerja sendiri. 

Ciput menyampaikan, pemerintah, masyarakat, lembaga pendidikan formal atau milik masyarakat seperti ponpes atau lembaga pendidikan alternatif punya kewajiban melakukan edukasi, meningkatkan kecakapan hidup anak, memahami bagaimana mereka mengenal tubuhnya, mengenal territory atas kepemilikan tubuhnya sendiri dan menghindari orang lain melakukan pencabulan atau kekerasan seksual pada anak.

“Karena korbannya tidak hanya perempuan, anak laki-laki pun banyak tidak berarti mereka itu steril dari kemungkinan kekerasan atau eksploitasi seksual apalagi di tanah daring,” imbuhnya.

Ia berharap segala upaya lebih tersistem menuju Kota Pekalongan layak anak. “Kota pekalongan KLA di tingkat nindya artinya naik kelas, Bapak Walikota ingin naik ke utama dan KLA, perlu naik 2 tingkatkan, karena masih banyak kekurangan harapannya diisi guru dan para pelajar untuk mewujudkan kota pekalongan layak anak, semangat mengisi semua kesenjangan atau gap untuk menuju ke KLA,” tandasnya.(nul)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: