Keadilan yang Tertutup: Menghadapi Ancaman Fraud Era 5.0 di Balik Jeruji Besi

Keadilan yang Tertutup: Menghadapi Ancaman Fraud Era 5.0 di Balik Jeruji Besi

--

Oleh : Zhafran Al Farras

Berkembanganya Era teknologi 5.0 di seluruh dunia dan salah satunya di Negara Indonesia ini, memberikan peng aruh dimana teknologi yang semakin maju dan mengikuti perkembangan zaman yang mungkin banyak sisi positif maupun negatifnya. Tidak terpungkiri masyarakat Indonesia baik tua maupun muda sekarang sudah menggunakan yang namanya teknologi cerdas buatan manusia seperti smart-phone,internet,robot dan teknologi lainnya. Banyak pengaruh positif yang diberikan dari perkembangan era 5.0 ini mempermudah semua kegiatan dalam melakukan pekerjaan masyarakat. Tetapi ada pula masayarakat yang menyalahgunakannya dikalangan manapun itu sekalipun dalam keadaan mereka diawasi dengan hukum seperti di dalam Lembaga Pemasyarakatan yang menjadi salah satu sistem peradilan pidana tingkat akhir bertugas untuk merehabilitasi para narapidana, menjaga ketenangan dan keamanan masyarakat, serta memberikan rasa keadilan bagi semua individu yang terlibat dalam proses hukum. Namun, di balik itu semua, telah menjadi rahasia umum bahwa terdapat fakta atau kenyataan yang menghambat bahkan merusak tujuan utama adanya Lembaga Pemasyarakatan. Salah satu yang jelas dan terpampang adalah masalah penipuan dalam manajemen keuangan atau bisa disebut juga dengan istilah “Fraud”.

Fraud merupakan salah satu bentuk kejahatan yang disebut “White collar crime” Menurut Benson (2015) bahwa pelaku kejahatan kerah putih merupakan pelaku tindakan melawan hukum yang dilakukan secara non fisik dalam bentuk penggelapan atau penipuan untuk memperoleh keuntungan berupa uang atau barang. Dari opini Benson di atas menjelaskan bahwa fraud dilakukan untuk menjelaskan tindakan yang melanggar hukum yang dapat merugikan masyarakat sekitar. 

Banyak faktor sebab masyarakat melakukan tindakan fraud, terutama ada 3 komponen utama seseorang melakukan fraud yaitu tekanan (pressure), kesempatan (opportunity), dan rasionalisasi (rationalization). Ketiga faktor ini dijelaskan oleh Dellaportas (2013) dan ketiga faktor ini sudah mencakup ke dalam sebab akbiat adanya fraud di lingkungan masyarakat. Sebagai contoh, pada kasus pemindahan 14 narapidana terkait kasus penipuan online ke Pulau Nusakambangan pada tahun 2023 dari berbagai Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di Wilayah Jawa Barat, termasuk Rutan Kebon Waru Bandung, Lapas Narkotika Jelekong Bandung, Lapas Subang, dan Lapas Kelas 1 Cirebon.

Pemindahan tersebut dilakukan setelah proses pengumpulan di Lapas Gunung Sindur dan Rutan Bandung untuk memfasilitasi proses secara langsung. Kadivpas Jawa Barat, Kusnali, mengkonfirmasi hal ini melalui telepon dengan tvonenews.com pada Rabu 17 mei 2023. Bapak Kusnali (Kadivpas Jawa Barat) menyatakan “ berasal dari beberapa lapas di wilayah Jawa Barat. Dikumpulkan di lapas gunung sindur dan Rutan Bandung untuk memudahkan proses pemindahan secara langung. Keempat narapidana lansung dikirim ke pulau nusakambangan dan akan ditempatkan di lapas khusus High Risk Kelas IIA Karang Anyar.”

Tindakan tersebut sesuai dengan instruksi Direktur Jenderal Pemasyarakatan untuk menertibkan narapidana yang nakal di seluruh Lembaga Pemasyarakatan dan Rutan di Indonesia. Bapak Kusnali (Kadivpas Jawa Barat) menekankan bahwa “Tidak hanya narapidana, petugas yang terlibat juga akan ditindak, bahkan mungkin akan dipindahkan ke Nusakambangan.” Beliau juga menegaskan “Keterbukaan Institusi Pemasyarakatan dalam mengusut tindak pelanggaran di dalam Lapas dan Rutan, serta kesiapan untuk berkolaborasi dengan aparat penegak hukum lainnya untuk mengungkap segala bentuk pelanggaran yang diduga terjadi di dalam Lapas dan Rutan.” Dari kasus tersebut dapat dijadikan pertanyaan, kenapa banyak narapidana berani melakukan penipuan atau fraud ini ?

Pertama, opportunity atau kesempatan narapidana dalam melakukan penipuan ini tinggi, sebab lemahnya sistem pengendalian gratifikasi baik itu narapidana dan petugasnya, dengan masih adanya oknum petugas pemasyarakatan yang masih melakukan tindakan kecurangan dengan menerima suap untuk membantu narapidana melakukan tindakan penipuan ini. Kedua, pressure atau tekanan, banyaknya tekanan yang ada di lingkungan penjara baik itu finansial ataupun kebutuhan, dan juga tekanan dari pekerjaan baik dari pemimpinnya atau sistemnya yang sudah berjalan jadi harus diikuti dan terakhir kecanduan akibat dari tekanan yang berubah menjadi kebiasaan artinya tekanan yang dilakukan berulang kali yang memberikan efek menjadi suatu kebiasaan. Ketiga, rationalization yang berarti alasan pembenaran tindakan, maksudnya adalah pembenaran atas apa yang ia lakukan sebab adanya faktor pendukung seperti lingkungan, yang dimana sistem lingkungan sekitarnya sudah berjalan dan mau tidak mau seseorang itu harus melakukanya, lalu potensi yang ia anggap tidak berbahaya karena banyak yang sudah melakukannya jadi menganggap sudah biasa dalam melakukan tindakan tersebut.

Jadi intinya sebab utama munculnya fraud di lembaga pemasyarakatan adalah kurangnya pengawasan yang memadai. Sistem yang terlalu terpusat dan kurangnya transparansi menciptakan celah yang memungkinkan penyalahgunaan kekuasaan. Selain itu, rendahnya standar akuntabilitas dan kurangnya pelatihan yang memadai bagi petugas pemasyarakatan dalam menghadapi tekanan psikologis dari lingkungan kerja yang keras dapat memperburuk situasi tersebut.  

Langkah-langkah untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan cermat dan terarah sangat diperlukan. Pertama-tama, diperlukan audit menyeluruh terhadap sistem pemasyarakatan di setiap Lapas dan Rutan yang terlibat, termasuk Rutan Kebon Waru Bandung, Lapas Narkotika Jelekong Bandung, Lapas Subang, dan Lapas Kelas 1 Cirebon. Audit ini harus mencakup evaluasi terhadap protokol keamanan, pengawasan petugas, dan pengelolaan narapidana. Tim audit yang terdiri dari ahli dalam bidang hukum, keamanan, dan psikologi penjara dapat dibentuk untuk menjalankan tugas ini.

Identifikasi kasus-kasus penipuan online dan pelanggaran hukum lainnya yang melibatkan narapidana serta petugas Lapas dan Rutan perlu dilakukan secara komprehensif. Ini melibatkan pengumpulan bukti, wawancara dengan narapidana dan petugas terkait, serta analisis data untuk memahami pola dan tren perilaku ilegal yang mungkin terjadi di dalam institusi pemasyarakatan. Pihak berwenang juga harus bekerja sama dengan pihak eksternal, seperti penyelidik kepolisian dan ahli keamanan cyber, untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang aktivitas ilegal yang terjadi di dalam Lapas dan Rutan.

Pengawasan internal di setiap Lapas dan Rutan dengan meningkatkan jumlah petugas pengawas perlu diperkuat, memperkenalkan teknologi keamanan terkini, dan melaksanakan pelatihan reguler bagi petugas dalam deteksi dan penanganan kegiatan ilegal. Selain itu, sistem pelaporan insiden dan tindakan disiplin harus ditingkatkan untuk memastikan bahwa setiap pelanggaran dapat ditangani secara tepat waktu dan efektif. Kerja sama antara Institusi Pemasyarakatan dengan aparat penegak hukum lainnya, seperti kepolisian dan kejaksaan, juga perlu ditingkatkan. Ini termasuk pertukaran informasi yang lancar, koordinasi dalam penyelidikan dan penuntutan kasus-kasus kriminal, serta kerja sama dalam upaya pencegahan dan deteksi dini terhadap kegiatan ilegal di dalam Lapas dan Rutan. Tim gabungan antara petugas pemasyarakatan dan pihak kepolisian dapat dibentuk untuk mengawasi dan menangani kasus-kasus kriminal di dalam institusi pemasyarakatan.

Program rehabilitasi dan reintegrasi bagi narapidana yang terlibat dalam kegiatan ilegal perlu diperkuat. Ini mencakup penyediaan layanan konseling, pelatihan keterampilan, dan dukungan sosial untuk membantu narapidana memperbaiki perilaku dan mengembangkan kembali kemampuan yang dapat mendukung reintegrasi mereka ke dalam masyarakat setelah masa hukuman selesai. Penting juga untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam proses penanganan masalah ini. Informasi tentang langkah-langkah yang diambil oleh pihak berwenang harus disampaikan secara terbuka kepada masyarakat untuk membangun kepercayaan dan menjaga keterbukaan dalam sistem pemasyarakatan. 

Dengan mengimplementasikan langkah-langkah ini secara komprehensif dan kolaboratif, diharapkan masalah yang terjadi di dalam Lapas dan Rutan dapat ditangani dengan efektif. Masyarakat juga diharapkan dapat memberikan dukungan dan partisipasi aktif dalam upaya ini untuk memastikan keamanan, keadilan, dan pemulihan di dalam sistem pemasyarakatan.

Penulis adalah Taruna Politeknik Ilmu Pemasyarakatan, Prodi Manajemen Pemasyarakatan Kelas A, STB 4790

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: