PEKALONGAN - Dibandingkan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (2006), Kurikulum 2013, maka Kurikulum Merdeka sangat mendukung bakat dan kemampuan siswa. Indikator belajarnya bersifat individu, bukan lagi target materi. Selama ini ada kesan guru memberikan materi sampai selesai dari awal sampai akhir. Siswa hanya dijejali materi tanpa mempedulikan mengerti atau tidak.
Demikian dituturkan Kepala Bidang Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PTK) Dinas Pendidikan Kota Pekalongan, Ahmad Husni baru-baru ini mengomentari diberlakukannya Kurikulum Merdeka pada awal tahun ini.
Di Kurikulum Merdeka tidak ada lagi istilah guru mengejar target materi pelajaran. Pendekatan yang digunakan adalah, siswa kelebihannya dalam bidang apa. Kalau siswa memiliki kelebihan melukis, maka guru akan memberikan dukungan semaksimal mungkin. Jika siswa senang musik, juga akan didukung oleh gurunya.
"Guru yang menyesuaikan dan mendukung, siswa kelebihannya apa. Sudah tidak perlu lagi anak diles-kan atau ambil bimbingan belajar salah satu mata pelajaran," kata ASN yang cukup kritis ini.
Ketika ditanya apakah semua sekolah dan guru sudah menerapkan Kurikulum Merdeka ini, Ahmad Husni menjawab masih on progress. "Beberapa sekolah sudah mulai menerapkan dan yang lainnya masih mempelajari. Ini sangat bergantung kepada adaptasi guru dalam menghadapi perubahan. Guru-guru yang mudah beradaptasi akan sangat cepat menerima," tambahnya.
Kalau ada yang berkata ganti Menteri ganti Kurikulum, pendapat itu tidak tepat. Kurikulum itu dinamis dan setiap waktu harus menuju ke arah yang lebih baik.
"Kalau ganti kurikulum menjadi lebih baik, kenapa tidak. Jangan sampai keengganan pihak tertentu untuk belajar hal baru, lantas mencari-cari alasan untuk menolak. Kurikulum Merdeka ini sangat bagus dan mendukung siswa," tuturnya semangat.
Dulu ada kurikulum Link and Match. Kurikulum ini hanya mempersiapkan siswa untuk terampil dalam bidang tenaga kerja tertentu terutama di dunia industri. Padahal tidak semua siswa akan menjadi tenaga kerja. Banyak juga yang menjadi entrepreneur atau pengusaha.
Oleh karenanya, raport itu ada dua. Ada raport akademis dan raport sikap. Raport akademis tidak lagi menjadi satu-satunya ukuran kepandaian dan kecerdasan siswa. Kecerdasan di masa depan itu tidak terletak pada tingginya angka-angka.
"Di masa depan itu kita lebih membutuhkan orang yang cerdas dalam berkolaborasi, cerdas menyelesaikan masalah, cerdas dalam mengendalikan emosi," tambah Ahmad Husni. (sep)