Gading Wulan

Minggu 25-12-2022,05:28 WIB

Misalnya masakan sayur asam. Itu memang sayur. Tapi unsur gulanya lebih mencelakakan daripada unsur manfaat sayurnya. Pun masakan sayur lainnya.

Ada masalah teknis. Haruskah Wulan punya dua dapur. Untuk kakaknyi dan untuk dirinyi sendiri.

Ribet.

Maka muncullah tekad baja-kurima Wulan: ikut sekalian menjalani KetoFastosis. Cukup satu dapur. Tanpa gula dan tepung apa pun. Dia ingin menyembuhkan sang kakak secara total. Dia juga memberitahu kakak: sang kakak tidak menjalani KetoFastosis sendirian.

Kebetulan suami Wulan juga lagi perlu turun berat badan: 88 kg. Harus ikut sekalian KetoFastosis. Sang suami mau.

Kebetulan keluarga ini tidak perlu menyediakan makanan untuk anak. Semua anak di situ adalah anak asuh.

Mulailah program keras ini dilakukan: tiga orang menjalani KetoFastosis bersama-sama. Berat sama dipukul. Ringan, kebetulan tidak ada yang perlu dijinjing.

Hari-hari pertama, kata Wulan, bukan main beratnya. Badan lemes. Tapi sang kakak harus sembuh.

Bahwa hari-hari pertama itu berat, mereka sudah tahu. Begitulah literaturnya. Masa berat itu harus bisa dilewati. Setelah itu semuanya akan bisa dijinjing.

Bahwa hari-hari pertama lemes, itu karena otak belum mencari sumber energi yang lain. Begitu hari ketiga tidak juga ada gula dan karbo otak mulai mencari sumber energi yang lain: lemak.

Begitu otak menemukan lemak, badan tidak lemes lagi. Energi dari lemak juga lebih hebat. "Satu gram karbo hanya menghasilkan 4 kc energi. Satu gram lemak menghasilkan 9 kc energi," ujar Wulan.

Hari kelima sang kakak membaik. Tumor sebesar bola pingpong itu mengecil. Hari ketujuh tumor itu kempes sama sekali. Semua senang. Semua bahagia.

Hari ke-8 sang kakak meninggal dunia.

Usianya 53 tahun.

Wulan sendiri sudah melewati masa-masa yang berat. KetoFastosis itu sudah melewati masa kritis. Otak Wulan sudah menemukan sumber energi non-gula dan non-karbo.

Berat badan suaminyi pun mulai turun.

Tags :
Kategori :

Terkait