Dalam keterangannya, Saksi Ahli menjelaskan pula bahwa hak terhadap merek dapat dialihkan ke orang lain, misal melalui pewarisan, wakaf, hibah, maupun jual beli. Jika peralihannya berdasar perjanjian jual beli, maka diatur menggunakan hukum perdata, dan syarat sahnya jual beli harus terpenuhi.
Usai sidang, PH Terdakwa, Suryono Pane, mengatakan dengan adanya keterangan Saksi Ahli Hukum Pidana itu sudah membuat perkara tersebut semakin terang benderang.
Pertama adalah mengenai perkara tersebut yang merupakan delik aduan.
Karena delik aduan maka yang bisa mengadukan atau melaporkan langsung adalah pihak yang merasa dirugikan. Kalau perusahaan, maka pemilik atau direktur utama. Sedangkan pada perkara yang dihadapi kliennya, pelapor adalah marketing yang mendapat surat tugas dari manajer.
Pane juga menyebutkan kalau perkara yang diadukan itu sudah kedaluwarsa. Mengingat, perkara tersebut adalah delik aduan.
"Bahwa dalam bukti yang diajukan JPU, ada bukti kuitansi pembelian tanggal 24 Maret 2022. Jadi di tanggal tersebut sudah tahu. Tetapi dia baru melaporkannya di bulan Januari 2023, artinya sudah kedaluwarsa," imbuh Pane.
Antara PT PAJ dengan PT Gajah Duduk sebelumnya pada tahun 2018 telah ada perjanjian Goodwill. PT PAJ membeli saham dari Gajah Duduk senilai kurang lebih Rp1,5 miliar dengan persentase kepemilikan mencapai 60 persen, dan pembelian merek sarung Gajah Duduk senilai kurang lebih Rp138 miliar.
Kemudian pada 2021, saham yang tadinya dibeli PT PAJ itu sudah dijual. Meski menjual saham, PT PAJ menyatakan tidak pernah menjual hak merek sarung Gajah Duduk yang pada 2018 telah dibelinya.
Menurut pihak PT Gajah Duduk, perjanjian dengan PT PAJ tersebut telah berakhir pada 2021, dan hak merek terdaftar di HAKI adalah pada PT Gajah Duduk. Sedangkan, PT PAJ menyatakan kalau pihaknyalah yang berhak atas kepemilikan merek sarung tersebut. (way)