RADARPEKALONGAN.CO.ID - Artikel ini akan mengajak pembaca untuk mengenal KH Amir Idris Pekalongan, ulama alim yang menjadi menantu dari KH Sholeh Darat Semarang.
Bagi umat muslim Indonesia, khususnya kalangan santri Nahdliyyin, pastinya sudah tak asing lagi dengan nama KH Sholeh Darat. Maha guru ulama Nusantara itu dikenal sebagai guru dari KH Hasyim Asyari (Pendiri NU) dan KH Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah).
Sosok kyai yang akan kita bahas ini adalah sosok santri kesayangan sekaligus menantu dari KH Sholeh Darat Semarang, beliau adalah KH Amir Idris.
KH Amir Idris dikenal sebagai ulama alim yang memiliki ingatan tajam, beliau menimba ilmu ke banyak ulama alim, di antaranya adalah KH Sholeh Darat dan Syekh Mahfudh Termas.
BACA JUGA:Kenali 8 Makam Wali di Sapuro Pekalongan, Banyak Diisi Tokoh Hebat
Setelah lama tinggal dan menimba ilmu di Makkah, KH Amir Idris diperintah KH Sholeh Darat untuk menikahi putrinya yang bernama Nyai RA Zahro.
Atas perintah KH Sholeh Darat dan Syekh Mahfudh Termas, pernikahan KH Amir Idris dan Nyai RA Zahro dilangsungkan di Makkah.
Setelah itu ulama yang lahir di Desa Mundu (Cirebon) ini ikut membantu mengajar dan mengembangkan pondok pesantren milik KH Sholeh Darat, peninggalan dari Kyai Murtadlo.
Lama bermukim di Semarang, KH Amir Idris membawa keluarganya pun lalu pindah ke Pekalongan. Di Pekalongan ia juga melakukan dakwah dan membuat tempat untuk mengaji para santri.
BACA JUGA:Wali Mastur Jadi Rais Syuriah NU Pertama Cabang Pekalongan dan Muktamar NU 1930 di Pekalongan
BACA JUGA:Jauh Sebelum Era RA Kartini, Sosok Wali Perempuan dan Pejuang di Pekalongan yang Menginspirasi
Dilansir dari buku "Jejak Dakwah Ulama Nusantara" yang disusun oleh tim PCNU Kota Pekalongan, Kyai Amir Idris pindah ke Pekalongan pada tahun 1925, beliau disambut oleh salah satu teman baiknya saat menimba ilmu di Makkah, yakni Kyai Abu Bakar.
Masa-masa awal di Pekalongan, Kyai Amir Idris tinggal sementara di rumah Kyai Abu Bakar, sebelum beliau tinggal di rumah pemberian Kyai Adam Simbang Kulon.
Hal tersebut menyiratkan hubungan antar ulama yang saling dukung dalam berdakwah, para beliau tidak sama sekali merasa tersaingi dengan adanya ulama lain, namun saling mendukung untuk membina umat.