Dihadapan Mahasiswa UIN Semarang, Ketua DPRD Kabupaten Pekalongan Jelaskan Sejarah hingga Isi UU TPKS
Ketua DPRD Kabupaten Pekalongan Dra. Hj. Hindun MH menghadiri dan menjadi Narasumber dalam diskusi tentang UU TPKS dengan Dema UIN Semarang yang bertempat di Gedung Fakultas Dakwah, Kamis (2/6/2022).
Dalam kesempatan tersebut, Ketua DPRD Kabupaten Pekalongan menyampaikan tentang sejarah lahirnya, polemik, kontroversi serta isi dari UU TPKS.
RUU TPKS digagas pertama kali tahun 2012 oleh Komnas Perempuan. Awalnya, RUU TPKS bernama RUU Pencegahan Kekerasan Seksual (PKS). Pada tahun 2014, Komnas Perempuan bersama LBH Apik Jakarta, serta Forum Pengada Layanan (FPL) menyusun draf RUU PKS lalu memberikannya kepada DPR dan Pemerintah pada tahun 2016.
DPR kemudian memasukkan RUU TPKS ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2016. RUU tersebut meliputi pencegahan, penanganan korban, penindakan, dan rehabilitasi.
Hingga periode DPR periode 2014-2019 berakhir, RUU TPKS tak kunjung disahkan. Bahkan beberapa kalangan memberikan penolakan terhadap RUU tersebut dengan berbagai argumentasi.
Pembahasan RUU TPKS akhirnya di-carry over atau dilanjutkan oleh DPR periode 2019-2024. Meski begitu, pembahasan RUU TPKS terus mengalami dinamika, termasuk di kalangan internal DPR.
Tahun 2020, RUU TPKS ditarik dari Prolegnas karena dinilai pembahasannya agak rumit.
Namun RUU TPKS kembali masuk Prolegnas Prioritas tahun 2021. Di tahun 2021 ini, RUU PKS berubah nama menjadi RUU TPKS dengan alasan agar lebih membumi.
Setelah melalui pembahasan yang cukup alot, Baleg DPR akhirnya menyepakati UU TPKS menjadi usulan inisiatif DPR pada 8 Desember 2021 setelah mayoritas fraksi DPR memberikan persetujuan. RUU TPKS pun resmi disahkan menjadi RUU inisiatif DPR dalam rapat paripurna ke-13 masa sidang 2021-2022 pada 18 Januari lalu.
Panja RUU TPKS Baleg DPR dan Pemerintah terus mengebut pembahasan hingga akhirnya pada 6 April 2022, UU ini disepakati dalam pembahasan tingkat I. Lalu pada Selasa (12/4/2022) kemarin, DPR mengesahkan RUU TPKS menjadi undang-undang dalam pembicaraan Tingkat II di rapat paripurna ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022.
Urgensi terkait kekerasan seksual di Indonesia sudah sangat beralasan jelas. Mulai dari sudut korban, pelaku, hingga peluang atau yang dalam hal ini adalah keadaan yang tercipta menyudut pada perlunya kesungguhan dalam mengatasi kasus kekerasan seksual.
Tidak sedikit alasan yang dapat menjadi landasan utama dari pertanyaan terkait mengapa kekerasan seksual ini terus terjadi, salah satunya yang menjadi sorotan adalah keberadaan peraturan perundang-undangan yang mampu mengakomodasi dengan baik. Belum lama isu mengeluarkan RUU PKS dari Prolegnas 2020 menjadi pergunjingan di segala penjuru negeri ini.
Hal tersebut terjadi karena jika menilik dari faktanya seakan tidak membenarkan jika rancangan undang-undang yang diharapkan mengisi kekosongan hukum terkait kekerasan seksual ini dikesampingkan sedemikian rupa.
Maka, pembahasan mengenai urgensi ini telah tepat jika merujuk pada kesimpulan pentingnya undang-undang yang bersifat lex specialis dan dibuat khusus untuk mengakomodasi kekerasan seksual ini diupayakan untuk ada.
Secara pengertian kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan atau politik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: