Sobekan Irawan

Sobekan Irawan

Mungkin warisan genetika masih tersalur ke sanubari saya, dari kakek saya, dr Chen Lung Kit yang selalu menulis kuplet di gerbang masuk Pancoran Glodok, Batavia, di setiap hari ulang tahun Ratu Wilhelmina. Ditambah karya mendiang ayah saya, dr Putrasatia, sebagai kolumnis kesehatan di surat kabar harian Indonesia Raya.

Mungkin gen inilah menjadikan naluri saya mempunyai inisiatif membuat majalah dwi mingguan Indonesia Media, sebuah media cetak dan online dengan www.indonesiamedia.com.

Sempat juga nama majalah itu jadi persoalan, karena seorang sarjana linguistik jebolan UI yang tinggal di Kanada, tiba-tiba menyurati saya, dan mengatakan itu salah bahasanya. Harusnya Indonesian Media, karena mengingat kita di Amerika harus mengikuti tata cara penyusunan kata seperti itu. Saya sempat merenungi usulan itu. Namun saya teringat asal inspirasi istilah itu ternyata saya dapatkan dari salah satu majalah etnis di Los Angeles, yang bernama China Post, bukan Chinese Post. Setelah itu saya kembali tenang bisa tidur.

Kalau dipikir-pikir, kok saya berani ya, memublikasi sebuah majalah dwi mingguan. Di mana saya masih harus praktik di kedua klinik saya, lalu tiba-tiba jadi editor dan penerbit pula. Agak ngeri-ngeri sedap membayangkan sepak terjang saya yang berani mati saat itu.

Harus saya akui juga dukungan dari Ibunda saya, Sanita. "Kalau kamu ada hati bikin majalah ini, teruskan. Tuhan pasti memberikan jalannya," demikian lipurnya.

Kemudian tidak selesai di nama media cetak itu saja, ternyata saya tidak mau kalah dengan kantor berita papan atas yang selalu punya semboyannya yang khas. Seperti Kompas, "Jernih melihat Dunia" , Tempo, dengan "Bicara Fakta" nya, dan banyak lagi sejumlah semboyan-semboyan yang keren.

Berangkat dari apa yang memicu kami mendirikan Indonesia Media. Apa misi kita ke depan? Tentunya khalayak mafhum dengan Tragedi Mei'98 yang tidak pernah bisa kami lupakan. Karena itu kami ada suatu usaha untuk koreksi diri dan merenungkan perjalanan ke depan. Biarlah timeline itu menjadi tonggak sejarah menjadikan bangsa Indonesia melangkah maju ke tingkat peradaban bangsa yang lebih tinggi.

Salah satu cara adalah membangun komunikasi antarsuku dan golongan, meningkatkan interaksi sosial, menciptakan pengertian dan kerja sama, saling mengisi kekurangan, dan membagi kelebihan kita masing-masing. Saya rasa sebagai masyarakat awam di luar negeri, hanya itulah yang kami mampu berikan kepada Indonesia.

Di sinilah saya harus berpikir keras untuk menciptakan semboyan yang bermakna, dan menyertakan kaidah puisi yang sekaligus menebus kesumat dari angka "4" di rapor bahasa Indonesia tersebut. Alhasil saya mendapatkan wangsit, menggunakan semboyan "Berdaya lewat Lintas Budaya". Istilah ini dijamin genuine, memenuhi makna, dan memenuhi kaidah puisi, dan rhyme, kata penyanyi Rapper.

Walaupun tidak sepanjang "Gurindam Dua Belas" punya Raja Ali Haji tapi saya jamin semboyan itu asli. Sumpah! Bukan plagiat. Semoga saya selalu diberi inspirasi dapat melahirkan banyak "lead" dalam berkarya sebagai penulis ini. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: