Catcalling sebagai Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia

Catcalling sebagai Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia

Dhiffa Puteri Karamina-istimewa -

*Khususnya Pada Perempuan Berhijab dalam Perspektif Islam

Catcalling adalah tindakan verbal yang sering kali mengejek, merendahkan, atau melecehkan perempuan di ruang publik. Tindakan ini mengancam martabat dan keamanan perempuan serta melanggar prinsip-prinsip keadilan dan kesopanan. Catcalling bukanlah bentuk pujian, melainkan lebih merupakan tindakan intimidasi yang menggunakan kata-kata dengan maksud dan tujuan tertentu. (Apa Saja Dampak Catcalling Pada Kesehatan Mental?, 2022). Di Indonesia, Catcalling menjadi masalah yang cukup serius, Menurut Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual di Indonesia, Catcalling dianggap sebagai tindak pidana yang dilarang oleh negara, demikian yang diungkapkan oleh Komnas Perempuan. (Apa Saja Dampak Catcalling Pada Kesehatan Mental?, 2022) Paper ini akan membahas Catcalling sebagai pelanggaran HAM di Indonesia dalam perspektif Islam

 

Pada tahun 2019, survei mengungkapkan bahwa sebanyak 64% dari 38.755 perempuan dan 11% dari 28.403 laki-laki mengalami pelecehan seksual di ruang publik. Dalam kasus ini, 60% dari korban mengalami pelecehan berupa ucapan atau komentar, 24% mengalami sentuhan fisik, dan 15% mengalami pelecehan visual seperti tatapan atau isyarat. (Farisa, 2019) Bentuk pelecehan seksual yang paling umum terjadi di masyarakat adalah pelecehan seksual verbal, di mana kasus ini sering terjadi di tempat umum antara individu yang tidak memiliki hubungan keluarga atau saling kenal satu sama lain. Menurut penelitian oleh (Setyanto & Hidayat, 2020), catcalling adalah fenomena nyata yang dapat diamati melalui penggunaan indra manusia. Tindakan catcalling umumnya dilakukan oleh sekelompok orang, dengan pelaku yang sering kali merupakan laki-laki dan korban yang biasanya perempuan, meskipun tidak menutup kemungkinan terjadi catcalling terhadap korban laki-laki oleh pelaku perempuan. Dalam kegiatan catcalling, terjadi interaksi berupa simbol-simbol yang memengaruhi pola komunikasi antara pelaku dan korban. Simbol-simbol ini digunakan oleh pelaku catcalling dengan tujuan menggoda atau mengganggu seseorang di jalanan, seringkali melibatkan isyarat atau tindakan yang merendahkan korban.

Dalam perspektif Islam, laki-laki dan perempuan memiliki kesetaraan yang mencakup kondisi dan posisi yang setara sesuai dengan kodratnya. Mereka memiliki kesempatan yang sama dan merata, meskipun terdapat perbedaan biologis yang jelas di antara keduanya. Namun, tidak ada pandangan bahwa salah satu jenis kelamin lebih rendah atau lebih unggul daripada yang lain. Karena pada dasarnya, manusia memiliki kedudukan yang sama baik di hadapan Allah SWT maupun dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. (Analisis Fenomena Catcalling Terhadap Kondisi Mental Wanita Dalam Perspektif Islam, n.d.) Dalam agama Islam, konsep khalifatullah fi al-ardh dipahami sebagai tanggung jawab kepemimpinan yang dapat diemban baik oleh laki-laki maupun perempuan di dunia ini. Al-Quran juga mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan harapan agar mereka saling melengkapi dan menjadi pasangan yang serasi. Ayat QS. Al-Hujurat (49:13) menyatakan bahwa Allah menciptakan laki-laki dan perempuan. Ayat ini turun di Kota Mekah ketika ada laki-laki yang saling mencela satu sama lain. Dalam komunikasi, terkadang manusia tanpa disadari membuat kesalahan yang bisa menyakiti hati lawan bicara. Dalam berkomunikasi, terkadang digunakan untuk menarik perhatian seseorang. Namun, jika tidak dilakukan dengan benar, hal tersebut dapat membuat orang merasa takut dan tidak nyaman. Di era saat ini, melalui komunikasi juga dapat memicu terjadinya tindak kejahatan. Tindak kejahatan bisa terjadi di mana saja dan kapan saja, termasuk fenomena yang sering terjadi di jalanan baik secara fisik maupun melalui perkataan. Salah satu contoh tindak kejahatan yang terjadi di jalanan adalah catcalling, yaitu pelecehan seksual secara verbal yang dilakukan oleh seseorang yang tidak menghormati orang lain. (Thalia & Destiwati, 2022) Catcalling dapat dilakukan oleh pria maupun wanita, dengan siapa saja bisa menjadi korban. Catcalling tidak hanya muncul sebagai hasil dari dendam seseorang, tetapi juga sebagai manifestasi dari hasrat seorang pria ketika dia merasa terangsang melihat seorang wanita melewati. Kejadian ini tidak terbatas pada wanita yang tidak menutup auratnya, melainkan belakangan ini juga terjadi pada wanita yang mengenakan jilbab. (Bakhri, 2020)

Setiap individu berhak merasa aman dan tenteram serta mendapatkan perlindungan dari ancaman ketakutan sesuai dengan Pasal 30 Undang-Undang No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang telah disahkan pada 12 April 2022, bertujuan untuk melindungi hak-hak korban pelecehan seksual. UU ini terdiri dari 93 Pasal dan 58 halaman dan diharapkan dapat digunakan sebagai payung hukum yang kuat untuk menindak segala bentuk pelecehan seksual, baik secara fisik maupun nonfisik, termasuk dalam fenomena catcalling. (PELECEHAN VERBAL (CATCALLING) DI TINJAU DARI HUKUM PIDANA Verbal Harassment (Catcalling) in Review From the Criminal Law Fadilla, 2022) Selain UU TPKS, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juga terdapat pasal yang dapat menjerat korban, yakni Pasal 289-296 yang mengatur tindakan pencabulan. Meskipun istilahnya berbeda, pasal-pasal tersebut masih relevan dalam menghadapi fenomena catcalling yang mengandung unsur seksual. Selaras dengan peraturan tersebut, UU No. 44/2008 tentang Pornografi juga menegaskan bahwa tindakan catcalling dapat dikenai sanksi pidana, seperti yang dijabarkan dalam Pasal 34-35. (Abintoro Prakoso, 2017).

Penulis : Dhiffa Puteri Karamina

Mahasiswa Universitas Islam Indonesia Yogyakarta 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: