KOTA PEKALONGAN - Mungkin banyak yang tidak mengetahui bahwa Pemkot Pekalongan memiliki aset penginapan yang disewakan untuk masyarakat luas. Bertempat di gang 5 No 86, Kelurahan Medono, penginapan tersebut lebih dikenal dengan 'Pondok Boro'. Tapi nama resmi yang tertulis di depan bangunan adalah 'Wisma Kost dan Penginepan Kota Batik'.
Biaya sewanya terbilang murah, hanya Rp300 ribu untuk satu bulan. Namun kondisinya kini memprihatinkan, kotor dan tak terawat. Komisi B DPRD Kota Pekalongan, baru-baru ini melakukan sidak ke lokasi penginapan. Sejak masuk dan menyusuri ke setiap bagian bangunan, mereka seringkali geleng kepala melihat kondisi yang ada.
Ada 19 kamar yang disediakan dengan fasilitas kamar mandi dalam. Luasan masing-masing kamar berbeda. Yang jelas, kondisi di dalamnya dinilai sudah tidak layak. Kaca-kaca jendela yang pada umumnya diberi gorden sebagai penutup, hanya dipasang potongan-potongan kertas koran bekas.
Saat masuk ke salah satu kamar, aroma pengap langsung menyergap. Ruangan tak dipasang plafon sehingga dapat langsung melihat atap genteng dan rangka kayu diatasnya. Bahkan di salah satu kamar, lubang yang menganga cukup besar tampak di bagian atap. Artinya, setiap hujan dipastikan air akan deras masuk ke dalamnya. Bahkan ada satu dua kamar yang tak bisa dibuka karena kuncinya entah dimana.
"Ada tujuh kamar yang terisi," tutur penjaga Pondok Boro yang menemui anggota Komisi B saat sidak. Hampir setiap bulan selama tahun 2019 lalu tingkat okupansi tak beranjak dari jumlah tersebut.
"Kami mengibaratkan kondisi Pondok Boro ini seperti hidup segan, mati tak mau. Tapi setiap tahunnya sangat merugikan Pemkot karena selalu ada usulan untuk operasional tapi tidak ada penambahan PAD," ujar Wakil Ketua Komisi B DPRD Kota Pekalongan, Budi Setiawan. "Ini sangat mengkhawatirkan walaupun sebenarnya isu ini sudah lama," tambahnya.
Terhitung, sudah tiga kali DPRD sidak langsung ke Pondok Boro. Komisi B juga selalu memberikan rekomendasi agar keberadaan Pondok Boro diperjelas dengan merubah fungsinya baik menjadi rumah susun atau fasilitas publik lain yang kemudian dapat dikelola dengan lebih baik dan profesional. "Kami akan tindaklanjuti dengan memberikan masukan kepada dinas pengelola," katanya.
Selain itu, Budi Setiawan juga menilai bahwa keberadaan Pondok Boro sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini. Awalnya Pondok Boro dibuka untuk menunjang kawasan industri ATBM dan batik di Medono sebagai tempat singgah bagi mereka yang mengantar maupun mengambil hasil kerajinan tersebut. Untuk itu dia menilai lebih baik konsep Pondok Boro harus dirubah.
Dari hasil sidak diketahui bahwa setiap tahun pengeluaran yang harus digelontorkan untuk operasional penginapan tersebut selalu lebih besar dari pendapatan yang dihasilkan. Setiap bulannya pengeluaran yang harus dikeluarkan untuk mengelola Pondok Boro mencapai Rp5 juta yang diperuntukkan bagi gaji dua karyawan sebesar Rp3,2 juta dan listrik Rp1,1 juta. Sedangkan dari segi pendapatan, jika 19 kamar yang ada terisi penuh maka pemasukan yang didapatkan hanya mencapai Rp5,7 juta.
Didirikan sejak tahun 1993, awalnya Pondok Boro memiliki tarif harian yakni Rp1.000 per hari yang selanjutnya terus berubah menjadi tarif bulanan yang terus naik setiap beberapa tahun. Keberadaan Pondok Boro, awalnya ditujukan untuk menunjang kawasan industri ATBM di wilayah sekitar. Saat ini, sebagian kamar dihuni oleh sales dan anggota TNI yang bertugas di Pekalongan.
Berdasarkan data Dinperkim, setiap tahun Pondok Boro menyumbang PAD sebesar Rp60 juta. Namun pemasukan dari Pondok Boro menjadi satu dengan Rusunawa dengan total pemasukan Rp617 juta. Untuk tingkat okupansi, berdasarkan data pengelola sejak tahun 2014 okupansi tertinggi hanya mencapai 73 persen atau rata-rata terhuni 14 kamar pada tahun 2015. Sedangkan tahun 2014, okupansi hanya mencapai 63 persen atau rata-rata 12 kamar terisi dan pada 2016-2017 hanya mencapai 68 persen atau rata-rata 13 kamar terisi.(nul)