Oleh Dr. Fahrudin Eko Hardiyanto, M.Pd.
“Pendidikan itu, jembatan masa depan. Dan jembatan itu harus kokoh dibangun di atas fondasi kemampuan berpikir yang kuat.”
Di tengah upaya peningkatan mutu pendidikan nasional, khususnya di tingkat dasar dan menengah, muncul sebuah gagasan strategis: menerapkan Tes Kemampuan Akademik (TKA) sebagai bagian dari sistem evaluasi pembelajaran. TKA selama ini dikenal dalam dunia perguruan tinggi, namun kini mulai dipertimbangkan untuk diterapkan lebih luas di jenjang sekolah. Pertanyaannya, apakah sistem ini bisa menjadi solusi dalam membangun pendidikan yang lebih objektif, rasional, dan merata?. Apakah TKA bisa menjadi bagian dari sistem evaluasi pembelajaran di SD hingga SMA?. Apakah TKA relevan dan mampu diterapkan di tingkat sekolah?.
TKA bukan sekadar tes. Ia adalah alat ukur untuk menilai kemampuan berpikir siswa secara mendalam mencakup nalar logis, pemahaman verbal, dan kemampuan kuantitatif. Dalam kerangka pendidikan nasional, pendekatan ini sangat sesuai dengan semangat yang saat ini sedang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) yang menekankan pentingnya kompetensi dibanding sekadar hafalan.
Berbeda dari ujian konvensional yang menilai hafalan materi, TKA fokus pada kemampuan berpikir logis, bernalar, memahami bacaan, serta memecahkan masalah kuantitatif. Jenis tes ini mengukur dasar-dasar kemampuan akademik yang sifatnya lintas mata pelajaran. Jika diterapkan sejak jenjang sekolah, TKA dapat menjadi alat bantu yang efektif bagi guru untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan kognitif siswa. Tidak hanya melihat hasil akhir, tetapi juga proses berpikirnya.
Penerapan TKA sebenarnya memiliki dasar yuridis yang jelas. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa evaluasi pembelajaran harus dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan. Selain itu, kebijakan Asesmen Nasional dan implementasi pembelajaran mendalam yang kini digencarkan Kementerian Pendidikan menekankan pada pada pentingnya kemampuan literasi dan numerasi dua aspek utama yang juga diukur dalam TKA.
Penerapan TKA juga sejalan dengan program prioritas pendidikan, seperti penguatan literasi, numerasi, dan karakter. Tes ini dapat menjadi bagian dari sistem penilaian yang lebih adil dan mendorong peningkatan mutu pembelajaran di kelas. Bahkan di era digital, TKA bisa dikembangkan dalam bentuk tes daring yang adaptif, memberi pengalaman belajar sekaligus mengevaluasi kemampuan siswa dengan lebih efektif.
Bila dicermati berdasarkan aspek filosofis dan sosiologis, pendidikan kita harus bergerak ke arah yang lebih adil dan merata. Tes seperti TKA bisa menjadi alat ukur yang tidak terlalu terpengaruh oleh latar belakang sosial-ekonomi siswa, karena yang diuji adalah kemampuan dasar berpikir.
Di tengah perubahan sistem pendidikan nasional, pemerintah mendorong model evaluasi pembelajaran yang lebih berorientasi pada kompetensi. Salah satu pendekatan yang mulai dilirik adalah Tes Kemampuan Akademik (TKA) ini. Meski selama ini TKA banyak dikenal di lingkungan perguruan tinggi, namun belakangan muncul gagasan agar TKA diterapkan juga di jenjang sekolah dasar dan menengah. Secara historis, Indonesia pernah mencoba berbagai bentuk evaluasi pendidikan, dari EBTANAS hingga UN. Namun semua itu banyak dikritik karena terlalu menekankan hasil akhir, bukan proses dan kemampuan berpikir siswa. Di sinilah TKA hadir sebagai alternatif yang lebih humanistik dan mendalam.
Tes Kemampuan Akademik bisa menjadi bagian penting dalam reformasi sistem evaluasi pembelajaran di Indonesia. Dengan pendekatan yang tepat, pelatihan guru yang memadai, dan dukungan lintas sektor, TKA mampu membantu siswa berpikir lebih dalam, tidak hanya menghafal. Bukan saatnya lagi menilai siswa hanya dari seberapa cepat mereka menjawab soal. Yang lebih penting adalah: apakah mereka benar-benar memahami dan mampu berpikir mandiri?
Bukan soal bisa atau tidaknya TKA diterapkan di sekolah, melainkan: kapan kita siap memulainya dengan serius?
Penerapan Tes Kemampuan Akademik di sekolah memang bukan langkah instan. Tapi ia adalah pijakan penting menuju sistem pendidikan yang lebih adil, rasional, dan memerdekakan serta berkemajuan. Kita tak lagi hanya bertanya: mampukah siswa menjawab soal ujian?, tetapi sudah mulai bertanya: mampukah mereka berpikir dan memecahkan masalah kehidupan nyata? Jika jawabannya "ya", maka TKA layak menjadi bagian dari masa depan pendidikan Indonesia.
Penulis adalah Dosen PPG Universitas Pekalongan, Mudir TrenQu Muhammadiyah Rogoselo, dan Ketua Yayasan Insan Cendekia Rogoselo.