Beredar luas di media sosial sebuah video yang menunjukkan seorang perempuan yang menangis dan berteriak saat digotong oleh sejumlah pria.
Dalam video yang beredar sepekan lalu, perempuan yang meronta itu dibawa masuk ke satu rumah di Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur.
Di samping itu, ada satu video yang menunjukkan seorang perempuan yang "diculik" oleh empat pria saat berada di satu terminal di Kota Weetabula, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur.
Kedua rekaman video itu menggambarkan bagian dari proses kawin tangkap, praktik yang dianggap lazim di kalangan masyarakat Sumba, khususnya yang berada di daerah pedalaman.
"Tradisi ini sebenarnya sudah menjadi tradisi yang turun temurun. Namun jika dilihat yang terjadi saat ini berbeda sekali dengan yang terjadi pada lalu-lalu," kata Rambu Prailiang, seorang perempuan Sumba Tengah.
Rambu mengaku sangat menentang praktik kawin tangkap, yang menurut dia pelaksanaannya pada masa sekarang sudah melenceng jauh dari praktik pada masa lalu.
Menurut dia, pada masa lalu perempuan yang menjalankan tradisi kawin tangkap atau Palaingidi Mawini dihargai.
Pada zaman dulu, ia menuturkan, orang yang menjalankan praktik kawin tangkap harus berasal dari keluarga kaya karena belis atau mahar yang harus dibayarkan ke pihak perempuan besar.
Perempuan yang akan "ditangkap", menurut dia, juga sudah dipersiapkan, sudah didandani dengan pakaian adat lengkap, gelang gading, dan aneka perhiasan.
Pria yang akan menikahi perempuan itu pun mengenakan pakaian adat lengkap dan menunggang kuda berhias kain adat.
Setelah perempuan "ditangkap", pihak laki-laki akan mengirim utusan ke keluarga perempuan untuk menyampaikan informasi mengenai kejadian kawin tangkap tersebut.
Namun, menurut Rambu, sekarang praktik kawin tangkap lebih mengarah pada penculikan dan membuat kaum perempuan Sumba, khususnya di Sumba Tengah, Sumba Barat, dan Sumba Barat Daya, hidup dalam ketakutan.
Peneliti Janet Alison Hoskin yang melakukan riset di Kodi Sumba Barat Daya dan Joel C Kuipers yang melakukan penelitian di Wawewa Sumba Barat menyatakan bahwa kawin tangkap bukanlah budaya atau tradisi, melainkan praktik yang terus menerus berulang di Pulau Sumba.
Sementara menurut antropolog dari Universitas Widya Mandira Kupang Pater Gregorius Neonbasu, SvD, praktik kawin tangkap di Pulau Sumba hanyalah tindakan pragmatis yang terjadi karena kondisi dan iklim kehidupan sesaat.
"Jadi menurut saya hal tersebut harus segera ditanggapi oleh tokoh masyarakat atau sesepuh masyarakat Sumba sendiri karena memang praktik kawin tangkap itu sendiri hanyalah tindakan yang terjadi karena kondisi dan iklim kehidupan sesaat di daerah itu," katanya.