RADARPEKALONGAN.DISWAY.ID - Bingung dengan kehalalan uang yang kita terima dari orang lain? Mari kita simak penjelasan hukum menerima uang yang berpotensi riba menurut Ustaz Abdul Somad.
Rezeki yang berupa uang bisa didapat seseorang dari banyak jalan, seperti bekerja, diberi, berhutang atau dari jalan-jalan lain.
Dalam agama Islam ada beberapa uang berdasarkan cara mendapatkannya tergolong ke dalam uang yang haram, diantaranya adalah uang hasil mencuri ataupun uang riba.
Yang menurut para ulama uang-uang haram tersebut jelas sangat berbahaya, efeknya bahkan bisa menyangkut di dunia maupun akhirat.
Namun bagaimana dengan hukum uang yang kita tidak ketahui asal-usulnya?.
BACA JUGA:Aman Dunia Akhirat! Begini Cara Ustadz Abdul Somad Agar Mendapat Ridha Allah SWT
Dalam salah satu video Youtube yang diunggah oleh akun @Taufiqtv, terdapat penjelasan tentang hukum menerima uang yang berpotensi riba menurut Ustaz Abdul Somad.
Pada video tersebut, ada salah seorang jamaah yang bertanya bagaimana hukum meminjam uang pada orang yang berhutang ke bank, sedangkan orang tersebut meminjamkan pada si penanya tanpa bunga.
Kemudian Ustaz Abdul Somad menjelaskan bahwa dalam bertransaksi kita tidak harus menanyakan tentang asal-usul uang tersebut.
Pakar ilmu hadist dan fikih ini menganalogikannya dengan proses jual beli, dalam proses jual beli si pedagang tidak perlu menanyakan uang yang digunakan si pembeli untuk membeli dagangannya.
Seumpama uang tersebut berpotensi riba atau haram seperti dari orang yang meminjam ke bank, atau seseorang yang dikenal pernah korupsi pun kita tak pernah tahu uang dari hasil mana yang mereka beri pada kita.
Sebab bisa jadi yang dipakai adalah uang halal yang mereka cari dengan pekerjaan atau hasil pemberian orang lain.
BACA JUGA:Jangan Asal Bawa Anak ke Masjid! Berikut Hukum Membawa Anak ke Masjid menurut Ustadz Abdul Somad
Oleh sebab itu Ustaz Abdul Somad dalam video itu membolehkan untuk menerima dan memakai uang tersebut.
Dalam salah satu kitab fiqih syafi'iyyah yang berjudul "Bughyatul Mustarsyidin" karangan Sayyid Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur terdapat keterangan bahwa madzhab syafi'i membolehkan hal yang demikian.