Disway award
iklan banner Honda atas

Upacara di Bawah Rintik Hujan, Ketika Nasionalisme Menjelma Sebagai Ritual

Upacara di Bawah Rintik Hujan, Ketika Nasionalisme Menjelma Sebagai Ritual

--

RADARPEKALONGAN.CO.ID - Pagi itu, langit Kabupaten Pekalongan tampak mendung diwarnai gerimis air hujan. Awan kelabu bergelayut sejak malam, meneteskan gerimis kecil yang tak kunjung reda. Namun di lapangan belakang Sekretariat Daerah Kabupaten Pekalongan, Selasa (28/10/2025), langkah-langkah tegap para pemuda tetap terdengar. Di bawah tenda, jas hujan, dan bendera merah putih yang basah oleh rintik air, mereka berdiri tegak, siap mengikuti Upacara Peringatan 97 Tahun Hari Sumpah Pemuda.

Gerimis hujan yang turun sejak subuh rupanya tak mampu mendinginkan semangat mereka. Satu per satu perwakilan organisasi kepemudaan, pelajar dan peseta upacara dari berbagai penjuru wilayah berdatangan, menyatu dalam barisan yang membentuk simbol kebersamaan. 

Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Kabupaten Pekalongan, Haryanto, tampak mondar-mandir membantu mengatur pasukan peserta. 

"Meski hujan, semangat mereka luar biasa. Ini bukti bahwa nasionalisme masih hidup dalam diri para pemuda kita," ujarnya sambil tersenyum di sela-sela derasnya hujan rintik.

Upacara dimulai dengan khidmat. Bertindak sebagai pembina upacara, Kapolres Pekalongan, AKBP Rachmad C Yusuf membacakan sambutan dari Menteri Pemuda dan Olahraga, Erick Thohir, yang menyampaikan pesan semangat dari Presiden Prabowo Subianto: agar pemuda Indonesia terus menjadi penjaga nilai-nilai persatuan dan pelopor kemajuan bangsa.

Namun, di balik prosesi formal itu, terselip makna yang lebih dalam. Haryanto menyebut upacara bendera sebagai bentuk “ritual nasionalisme.” Sebuah istilah yang menarik, karena mengaitkan tradisi kenegaraan dengan sesuatu yang bersifat sakral.

"Namanya juga ritual, tentu ada prosedur tetapnya. Tidak boleh disederhanakan hanya karena cuaca atau alasan lain," tutur Haryanto tegas. 

Bahkan saat hujan makin deras di tengah upacara, peserta tetap lanjutkan sampai selesai. 

Bagi Haryanto, keteguhan itu bukan sekadar formalitas, melainkan bentuk penghormatan terhadap makna upacara itu sendiri. 

"Upacara adalah cara kita menumbuhkan disiplin, menghargai simbol negara, dan mengikat diri pada semangat kebangsaan," tambahnya.

Pemandangan serupa juga terjadi di berbagai kecamatan dan sekolah di seluruh Kabupaten Pekalongan. Di tengah langit yang mendung, siswa dan guru tetap berdiri tegap di lapangan, membiarkan seragam mereka basah oleh hujan. Tak ada yang mundur, tak ada yang mengeluh. Semua larut dalam satu semangat: menjaga api nasionalisme tetap menyala.

"Semoga ini menjadi gambaran bahwa masyarakat Kabupaten Pekalongan masih memiliki jiwa nasionalisme yang kuat. Dengan semangat itu, kita bisa terus menjaga daerah ini agar tetap damai dan kondusif," imbuhnya. 

Di bawah rintik hujan yang perlahan reda, bendera merah putih berkibar dengan gagah di tiang tertinggi. Dan di wajah-wajah muda yang menatapnya, tersirat pesan sederhana, bahwa cinta tanah air tak selalu diucapkan dalam kata-kata — kadang, hadir dalam bentuk ritual yang dijalani dengan setia, bahkan di bawah hujan yang menggigilkan.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: