iklan banner Honda atas

Rebut IPK Sempurna 4,00: Jejak Doktor dari Unikal Mampu Menyulam Ilmu, Seni Sastra untuk Menjawab Zaman

Rebut IPK Sempurna 4,00: Jejak Doktor dari Unikal Mampu Menyulam Ilmu, Seni Sastra untuk Menjawab Zaman

--Malekha

PEKALONGAN,RADARPEKALONGAN.CO.ID - Di ruang ujian promosi doktoral itu, puisi tidak sekadar menjadi teks. Ia menjelma gagasan, metode, bahkan masa depan. Muhamad Haryanto dosen Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pekalongan (FKIP Unikal) yang di dunia seni dan sastra dikenal dengan nama Emha Jayabrata, menutup perjalanan akademiknya dengan capaian sempurna: IPK 4,00.

“Bagi saya, puisi di zaman ini tak boleh jadi makhluk penyendiri, Ia harus kawin dengan beragam bidang ilmu yang lain karena itu saya buat Novelty Hexalogi Alih Wahana Puisi,” ujar Haryanto seusai dinyatakan lulus ujian promosi doktoral yang di gelar pada tanggal 19 Desember 2025 di ruang bundar Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang. 

Melalui disertasinya, ia memperkenalkan teori hexalogi alih wahana yang dikembangkannya menjadi model pembelajaran alih wahana puisi berbasis multiliterasi abad ke-21. Sebuah terobosan yang dinilai sebagai yang pertama di dunia sastra karena mengubah konsep alih wahana yang selama ini bersifat konseptual dan definisional menjadi model yang operasional, praktis, dan siap diterapkan di ruang kelas dan studio.

Selama ini, alih wahana telah menjadi praktik lazim di dunia seni puisi menjadi film, musik, pertunjukan, atau karya visual. Namun, dunia pendidikan belum memiliki formulasi yang jelas. “Di panggung seni, alih wahana sudah lama hidup. Tapi di kelas, ia belum diberi rumus yang utuh,” kata Haryanto.

Ia menyusun disertasinya dengan cara yang tidak lazim. Pengalaman sebagai kreator, sutradara, dan seniman tidak ditinggalkannya di luar kampus, melainkan dibawa masuk ke ruang akademik. “Saya tidak ingin teori yang berhenti di buku. Saya ingin teori yang bekerja, yang bisa dipraktikkan guru dan dirasakan murid,” ujarnya.

Jajaran penguji yang terdiri dari Dr. Eko Raharjo, M.Hum.; Widhiyanto, S.Pd., M.Pd., Ph.D.; Prof. Dr. Suminto A. Sayuti; Dr. U’um Qomariyah, S.Pd., M.Hum.; Dr. Nas Haryati Setyaningsih, M.Pd.; serta Prof. Dr. RM. Teguh Supriyanto, M.Hum. memberikan apresiasi tinggi atas disertasi tersebut.

Sastrawan senior sekaligus Guru Besar UNY, Prof. Dr. RM. Teguh Supriyanto, M.Hum., menilai karya Haryanto memiliki keunggulan yang jarang ditemui, lahir dari perpaduan riset, empiris, dan pengalaman kreatif yang kuat. Ini yang membuat karyanya hidup dan relevan,” tuturnya.

Penilaian serupa disampaikan oleh Prof. Dr. Agus Nuryatin, M.Hum., ketua tim promotor. Ia menegaskan bahwa Haryanto menunjukkan performa akademik yang sangat konsisten. “Ia berhak menyandang gelar Doktor Pendidikan Bahasa, terutama sebagai ahli pembelajaran sastra, karena kontribusinya nyata dan menjawab tantangan pembelajaran masa kini,” katanya.

Bagi Haryanto, perjalanan doktoral bukanlah sekadar mengejar gelar. “Saya percaya, ilmu harus berangkat dari pertanyaan dan harus diakhiri dengan jawaban” ujarnya pelan.

Ujian promosi doktoral ini dihadiri oleh keluarga besar Unikal, UNNES, UPGRIS, Balai Bahasa Jawa Tengah, DRD Kab Batang, KEK Kab Batang, serta berbagai komunitas dan pegiat seni-budaya. Ruang akademik hari itu terasa lebih hangat, karena dipenuhi orang-orang yang percaya bahwa ilmu dan seni bisa berjalan seiring.

Kini, Emha Jayabrata berdiri di satu persimpangan penting. Gelar doktor yang ia sandang bukanlah mahkota, melainkan amanah. Ia lahir dari perjalanan panjang membaca zaman, menyimak kegelisahan kelas, dan mendengarkan denyut kesenian yang terus berubah rupa.

“Ilmu tidak boleh hanya selesai di ruang ujian,” katanya. “Ia harus turun ke ruang belajar, ke studio, ke tangan guru, dan ke imajinasi peserta didik.”

Di tangannya, puisi tidak berhenti sebagai teks, dan teori tidak berhenti sebagai konsep. Keduanya bergerak, berpindah wahana, menjelma cahaya di layar, bunyi di ruang, dan kesadaran di pikiran generasi baru. Di sanalah letak heroismenya bukan pada gelar, melainkan pada keberanian menjembatani ilmu dan kehidupan.

Dan ketika zaman terus berubah dengan kecepatan yang nyaris tak terkejar, Emha Jayabrata memilih satu sikap yang teguh: berjalan di depan, sambil memastikan sastra tetap punya rumah di kelas, di budaya, dan di masa depan.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber:

Berita Terkait