TPA Degayu sudah Tak Layak, Sampah Menggunung Belasan Meter
KOTA - Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Degayu menjadi sorotan dalam beberapa tahun terakhir. Hal itu karena kondisinya sudah tidak layak. Sampah yang ditimbun sudah menggunung bahkan mencapai tinggi belasan meter.
Berbagai jalan sudah diupayakan sebagai solusi untuk mengatasi masalah tersebut namun hingga saat ini belum ada yang terealisasi. Yang paling getol sebelumnya yakni pembangunan TPA regional yang difasilitasi Pemerintah Provinsi Jawa tengah dengan lokasi di Kabupaten Pekalongan. Namun dua lokasi yang sudah dipilih, ditolak warga setempat sehingga rencana itu masih menggantung sampai saat ini.
"Awal tahun 2018 sudah ada masterplan yang dibuat oleh Bappeda Provinsi Jawa tengah. Kami juga sudah dikumpulkan bersama Pemerintah Kabupaten Batang dan Kabupaten Pekalongan. Batang saat itu menyatakan tidak punya lokasi sehingga ditetapkan lokasinya ada di Kabupaten Pekalongan," ungkap Kepala DLH Kota Pekalongan, Purwanti.
Dia menambahkan, lokasi sudah ditentukan dan sudah sesuai regulasi yakni minimal berjarak 1 kilometer dari pemukiman. Namun saat akan dilakukan pembebasan lahan, masyarakat setempat tak menerima dan melakukan demo. Situasi yang sama juga terjadi saat Pemkab Pekalongan memutuskan untuk mengambil sistem yang berbeda, bukan TPA regional.
"Untuk yang kedua sudah ditentukan sistemnya yakni seperti Bantar Gebang, kalau kami ingin buang sampah ke sana kami harus bayar. Tapi lagi-lagi terkendala lokasi saat akan dibebaskan lahan masyarakat sekitar menolak. Sehingga bisa dikatakan sampai saat ini masalah TPA regional belum ada titik terang. Kami juga akan mengulang lagi bersurat ke gubernur agar sekiranya bisa melakukan intervensi agar terwujud TPA regional," jelasnya.
Purwanti menyatakan, Kota Pekalongan memang harus mandiri mencari solusi untuk TPA. Pemerintah pusat tak bisa memberikan bantuan secara anggaran karena lokasi TPA yang menyalahi aturan yakni berada di sempadan pantai. Untuk solusi dari Pemkot Pekalongan, dikatakannya DLH sudah berencana membuka zona 4 sebagai lokasi penampungan sampah yang baru.
Tahun lalu, sudah disusun DED dan berdasarkan hasil konsultasi dibutuhkan anggaran Rp10 miliar untuk pembukaan zona 4 lengkap dengan Ipal untuk limbah cair dari TPA. Namun anggaran tersebut tak terealisasi. Tim TAPD kemudian menawarkan untuk diberikan separuh terlebih dahulu atau sebesar Rp5 miliar.
"Kemudian kami konsultasikan kembali tapi ternyata kalau hanya Rp5 miliar itu nanggung, sehingga sekalian tidak usah. Kalau memang akan diwujudkan anggarannya Rp10 miliar termasuk untuk Ipal limbah cairnya," tambah Purwanti.
Dua solusi yang sudah dimunculkan gagal teralisasi. Selanjutnya dikatakan Purwani DLH juga telah mencoba solusi lain yakni pemberdayaan masyarakat dalam rangka mengurangi suplai sampah ke TPA dengan pembentukan TPS3R. Namun dalam perjalanannya juga tidak optimal. 21 TPS3R yang sudah beroperasi dinilai tidak cukup maksimal untuk mewujudkan tujuan utamanya.
Kini DLH juga masih mencoba cara lain dengan konsep yang sama, yakni pemberdayaan masyarakat. DLH membentuk bank sampah tingkat RW. Bekerjasama dengan kelurahan, DLH membentuk 54 bank sampah sebagai pilot project dengan sistem bank sampah tanpa lahan. Yakni setiap rentang waktu tertentu, masyarakat akan menyetor sampah yang sudah dipilah ke bank sampah.
"Konsep TPS3R maupun bank sampah adalah agar masyarakat dapat memilah sampah, sehingga sampah anorganik bisa dijual kembali dan smapah organik bisa dibuat kompos. Tapi lagi-lagi ada kendala. Pengurus bank sampah tingkat RW ini minta intensif. Tapi apapun kami akan tetap berusaha agar konsep bank sampah RW ini harus bisa terwujud. Kami juga akan coba gandeng komunitas untuk pengelolannya," ujar Purwanti.
Dengan tinggi sampah mencapai belasan meter, DLH kini juga belum menggunakan sistem sanitary landfill seutuhnya untuk mengelola sampah di TPA. Yakni sistem menimbun sampah dengan tanah agar ketinggian terus berkurang. DLH masih cenderung setengah-setengah menerapkan sistem yang direkomendasikan tersebut yakni hanya beberapa kali melakukan penimbunan sampah dengan tanah.
Tapi hal itu bukan tanpa alasan. Sebab DLH hanya mendapat anggaran yang terbilang minim untuk pengadaan tanah merah guna menimbun sampah yakni hanya sebesar Rp40 juta per tahun. "Bandingkan dengan Pati dan Jepara yang mengalokasikan Rp600 juta per tahun untuk pengadaan tanah merah guna mengurug sampah di TPA," tandasnya. (nul)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: