Dalam Setahun, Ada 779.259 Siswa Putus Sekolah di Indonesia

Dalam Setahun, Ada 779.259 Siswa Putus Sekolah di Indonesia

FOTO BERSAMA - Peraih Lomba PAUD Berprestasi dan Pusat Kegiatan Gugus Tingkat Kota Pekalongan Tahun 2019 berfoto bersama, di sela-sela kegiatan Seminar Nasional tentang Pendidikan Kesetaraan dalam rangka Hari Guru Nasional 2019 di aula kantor Dindik Kota Pekalongan, Senin (25/11).

KOTA - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mencatat, selama tahun 2019 di seluruh Indonesia ada 779.259 siswa usia SD/MI hingga SMA/sederajat yang putus sekolah atau tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Selain itu, berdasar data base Bappenas tahun 2019, diperkirakan masih ada sekitar 4,4 juta anak di seluruh Indonesia yang tidak sekolah (ATS).

Demikian disampaikan Kepala Sub Direktorat Pendidikan Kesetaraan dan Pendidikan Berkelanjutan pada Direktorat Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan, Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Dr Samto, saat menjadi narasumber dalam Seminar Nasional dengan tema "Mandiri, Kreatif dan Produktif melalui Pendidikan Kesetaraan" yang digelar Dinas Pendidikan Kota Pekalongan dalam rangka Peringatan Hari Guru Nasional Tahun 2019 di aula kantor Dindik setempat, Senin (25/11).

Doktor Samto menuturkan, ada berbagai penyebab anak-anak Indonesia tersebut putus sekolah, tidak melanjutkan sekolah, atau tidak bersekolah. "Penyebabnya beragam, ada karena faktor kondisi geografi, ada yang karena kondisi ekonomi, kesadaran orang tua, pengaruh lingkungan, dan profesi," terangnya.

Banyaknya ATS maupun anak putus sekolah atau anak tidak melanjutkan sekolah ini menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah perlu melakukan intervensi agar mereka tetap bisa mengenyam pendidikan. Salah satunya, melalui program pendidikan kesetaraan, baik itu Paket A, Paket B, maupun Paket C.

Misalnya saja untuk tingkat SD/MI dan SMP/MTs. Samto merinci, di tahun 2019, dari 27.010.882 siswa SD/MI, sebanyak 4.793.292 siswa yang lulus SD/MI. Sementara, 33.268 siswa atau 0,31% putus SD/MI. Mereka inilah yang berpotensi untuk mengikuti pendidikan kesetaraan di Paket A.

Sedangkan dari 4,7 juta siswa lulusan SD/MI itu, yang melanjutkan ke SMP/MTs sebanyak 4.519.846 siswa atau 94,30% dari total lulusan SD/MI. Artinya, ada sekitar 273.446 siswa atau 5,70% siswa yang tidak melanjutkan ke SMP/MTs.

Kemudian, di tingkat SMP/MTs, dari total 14.151.905 siswa tercatat ada 0,28% atau 28.651 siswa yang putus sekolah. Artinya, ada 302.097 siswa yang berpotensi untuk mengikuti pendidikan kesetaraan di Paket B.

Demikian halnya untuk jenjang SMA/MA/SMK. Dari total lulusan SMP/MTs sejumlah 4.253.883 siswa, yang melanjutkan ke SMA/MA sejumlah 2.050.592 (48,20%) siswa, dan yang melanjutkan ke SMK sejumlah 1.800.707 (42,33%) siswa). Artinya, ada 402.584 (9,46%) siswa lulusan SMP/MTs yang tidak melanjutkan ke SMA/SMK/MA.

Ditambah lagi, ada 15.953 siswa (0,33%) dari total 4.977.085 siswa SMA/MA yang putus sekolah; serta 25.357 siswa (0,52%) dari total siswa SMK yang putus sekolah. Sehingga, total ada 443.894 anak yang berpotensi mengikuti pendidikan kesetaraan di Paket C.

Mereka diharapkan secara bertahap mendapatkan layanan pendidikan melalui pendidikan kesetaraan. "ATS yang sebanyak 4,4 juta anak, ditambah 779.259 anak putus sekolah inilah yang menjadi sasaran pendidikan kesetaraan," ujarnya.

Pemerintah pun memproyeksikan, di tahun 2020 ada 87.360 peserta didik yang memperoleh layanan pendidikan kesetaraan Paket A, kemudian 244.600 anak mempereh Paket B, dan 497.960 anak memperoleh Paket C.

*) Perlu Ada Paradigma Baru Pendidikan Kesetaraan

Hanya saja, lanjut Samto, tingkat partisipasi anak tidak sekolah dan anak putus sekolah untuk mengikuti pendidikan kesetaraan saat ini masih sangat kecil, masih kurang dari 500 ribu anak. Penyebabnya antara lain masyarakat masih memandang sebelah mata pendidikan kesetaraan. Maka, harus ada paradigma baru yang mesti disosialisasikan ke masyarakat, bahwa pendidikan kesetaraan itu memiliki banyak kekhasan atau keunggulan dibanding sekolah formal.

Diantaranya, kebijakan pemerintah dalam pendidikan kesetaraan di tahun 2019/2020. Dalam hal zonasi, pendidikan kesetaraan sangat berbeda jika dibandingkan sekolah formal. "Semua anak yang tidak tertampung di zonasi sekolah formal harus terlayani. Pendidikan kesetaraan memastikan tidak ada anak usia sekolah yang tidak bersekolah," ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: