Desa Ngalian Siapkan BUMDes Pupuk

Desa Ngalian Siapkan BUMDes Pupuk

TIRTO - Areal persawahan hingga 44 hektar di Desa Ngalian, Kecamatan Tirto dinilai belum dimanfaatkan maksimal sebagai lumbung pangan dan pendukung ekonomi warga. Kendalanya, mulai dari kesediaan pupuk yang minim, saluran irigasi yang kurang baik, hingga kualitas dan kuantitas pelaku tani di sana.

Hal ini yang diungkapkan Muhammad Said, Kepala Desa Ngalian, ketika ditemui di kantornya, Senin (14/9/2020). "Persawahan di desa Ngalian sebenarnya bagus, cuman ada beberapa kendala, dari masalah pupuk sampai sulitnya cari buruh tani saat musim tanam. Biasanya malah pemilik lahan ambil orang luar desa," ungkapnya.

Dijelaskan Said, kesulitan pupuk itu mulai dari tempat pengambilan hingga kapasitas stoknya. Bahkan, warga biasa mengambil pupuk justru di luar desa, itupun kurang mencukupi.

"Beli pupuk biasanya ngambil di Sidorejo, dan itu baru pekan ini ditetapkan pengambilannya di Sidorejo. Kalau tahun-tahun kemarin kita ngambilnya di Kelurahan Bligo. Terus di Karang Jati, hingga Tangkil Kulon. Tapi kadang tidak mencukupi petani sini," jelasnya.

Oleh karena itu, pemerintah desa berencana mendorong BUMDes untuk menyelesaikan persoalan pengadaan pupuk tersebut. Agar warga bisa mengambil dari desa sendiri.

"Istilahnya dari berapa pupuk yang kita butuhkan itu suplainya kan ngga ada. Jadi kita pihak desa ada inisiatif ke depan untuk garap di BUMDes untuk pengadaan pupuk," paparnya.

Said pun mengeluhkan tiadanya saluran irigasi. "Di sini hanya berupa Kali buangan, itu juga jadi permasalahan petani. Kalau airnya pas datang di musim tanam padi tentu membantu petani, tapi kalau musim kemarau itu banyak petani yang garap sawahnya dengan menanam kacang hijau apabila air datang berlebih justru akan menghancurkan hasil panen mereka. Alhasil bukanya dipanen malah jadi makanan ternak nantinya. Sebenarnya kali buangan itu ngambilnya dari wilayah Podo barat,"urainya.

Selain itu hal yang yang tidak kalah penting adalah petani masih kesulitan akses pemasaran hasil panen mereka. Sehingga tak jarang mereka dijual hasil panenya dengan harga yang murah bahkan dibawah standar.

"Setiap panen itu, petani itu kadang tidak tahu harus jual ke mana. Adalah orang yang masuk, tapi itu harganya di bawah standar. Harusnya di musim kemarau kaya gini kan bisa mahal, para petani biasanya menjual sendiri per satu hektar itu 6 ireng (bahasa petani) sekitaran Rp 3,5 juta, padahal untuk biaya penggarapan dan biaya pupuk itu kadang tidak cukup," sambungnya. (ap3)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: