Wacana Sertifikasi Nikah Memantik Pro Kontra

Wacana Sertifikasi Nikah Memantik Pro Kontra

"Maka Kementerian Agama membuat program ada dua, yakni bimbingan perkawinan bagi calon pengantin. Dalam bimbingan ini meliputi persoalan keagamaan, keluarga sakinah, kesehatan reproduksi, persoalan keluarga berencana, dan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan memenuhi kebutuhan para pengantin. Ini semacam tim yang memang sudah diprogramkan oleh Kementerian Agama. Ini sudah berjalan," terang dia.

Selanjutnya, kata dia, ada bimbingan pranikah yang menyasar mahasiswa dan pelajar SMA yang belum waktunya menikah. Menurutnya, yang paling banyak programnya adalah bimbingan bagi calon pengantin. "Kita laksanakan rata-rata satu paket 25 pasang. Dua hari perkegiatan itu," ujar dia.

Sepakat dengan Yahya, Kasiman juga menilai program bimbingan pernikahan itu dananya juga besar. "Jika ada sistem sertifikasi yang belum jelas bentuknya dari Menteri Koordinator PMK ini kan kita belum tahu. Ini saja (bimbingan perkawinan) belum tercover semuanya untuk calon pengantin, karena rata-rata yang tercover itu pengantin-pengantin yang memberi kontribusi bagi pernikahan di luar KUA atau di luar kantor. Yang bayar PNBP Rp 600 ribu kembali lagi untuk pembinaan, transport pengulu, tidak semuanya untuk jasa profesi pengulu. Sebagian untuk pembinaan perkawinan dan pranikah," jelasnya.

Jika wacana itu dilaksanakan, lanjut dia, maka harus jelas sumber anggarannya darimana, pengujinya siapa, dan waktunya berapa hari. Dikatakan, bimbingan perkawinan yang dilaksanakan dua hari saja biayanya cukup besar.

Di Kabupaten Pekalongan pada tahun 2019 ada bimbingan perkawinan 25 kali dalam satu tahun, sesuai dengan PNBP dari pengantin. Sedangkan di Kabupaten Pemalang sampai 30 kali karena jumlah pernikahan sampai 12 ribu. "Di Kabupaten Pekalongan jumlah pernikahan sekitar 8. 500 hingga 9 ribu pertahun. Di seluruh Indonesia ada sekitar 6 ribu KUA. Jika yang menikah pertahun 1 persen saja dari jumlah penduduk, maka akan ada 2,7 juta yang menikah. Jika biaya pembinaan perhari Rp 100 ribu, maka butuh anggaran besar. Bisa Rp 2,7 triliun untuk dua hari, jika waktunya lebih lama dananya lebih besar lagi," ungkap dia.

Ditambahkan, dengan bimbingan selama dua hari yang selama ini sudah dilakukan Kemenag sudah bisa memberikan pembinaan kepada para catin. "Dua hari itu sudah diberi pembinaan. Selama ini dia tidak pernah mendengar hukum perkawinan, bagaimana KB, kisi-kisi menghadapi keluarga sakinah, dan kesehatan reproduksi. Dua hari itu dia digembleng," imbuhnya.

*)Khawatir Memberatkan Catin
Wacana sertifikasi pernikahan juga mengundang perhatian kalangan akademisi. Sam'ani Syachroni, akademisi IAIN Pekalongan mengungkapkan, meski semangatnya positif untuk membekali catin, namun jika konsepnya nanti harus ada pelatihan hingga tiga bulan akan sangat memberatkan, apalagi jika nanti ada ujiannya.

Menurutnya, pembekalan kepada catin bagus. Namun jika diformalkan dengan adanya sertifikasi, apalagi jika nanti membutuhkan waktu lama akan sangat memberatkan.
"Karena orang mau menikah itu sudah sibuk dengan persiapan pernikahannya. Jika harus dibebani sertifikasi, sangat memberatkan masyarakat. Bisa-bisa nanti malah nikah siri," katanya.

Disinggung persiapan untuk menikah, Sam'ani menyatakan adanya kematangan dari catin. Menurutnya, pembinaan kepada catin yang selama ini sudah dilakukan Kemenag sebenarnya sudah cukup untuk membekali catin. "Tapi ya tergantung dari orangnya nantinya," ujar dia.

*)Perlu Sosialisasi Lebih
Ketua Forum Komunitas Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Batang, Drs H Subkhi MSi menganggap wacana tersebut memiliki dampak positif jika nantinya benar direalisasikan. Meski begitu, menurutnya wacana itu perlu disosialisasikan sejak dini. Karena jika benar akan diterapkan mulai 2020 nanti, masyarakat perlu menyiapkan diri dengan sebaik mungkin untuk bisa mendapatkan sertifikat nikah jika ingin segera menikah.

"Sertifikat nikah menurut saya ditujukan untuk orang yang sudah siap nikah. Diharapkan orang yang mau nikah sudah siap untuk membangun rumah tangga. Ada pelatihan dulu, ada semacam tes bagaimana pengetahuan tentang kekeluargaan, dan bagaiman kondisi kesehatannya. Tentunya ini sangat baik karena bisa meningkatkan kualitas pernikahan dan rumah tangga. Nah masalahnya sejauh ini apakah masyarakat sudah siap apa belum," jelas Subkhi.

Menurutnya, kesiapan masyarakat perlu diimbangi dengan sosialisasi yang lebih gencar dari pemerintah. Terlebih jika memang ingin direalisasikan, perlu ada sosialisasi jauh-jauh hari sehingga masyarakat bisa menyesuaikan diri.

"Tujuannya sudah baik, karena membangun keluarga penuh persiapan dan bukan untuk coba-coba. Apalagi agar bisa bahagia dunia akhirat. Tapi memang hal ini tentunya perlu disosialisasikan. Bila perlu sedari dini, artinya dari ketika mungkin di bangku sekolah, seperti di tingkat SMA sederajat atau perkuliahan sudah dibahas terkait ketentuan sertifikat nikah. Sehingga ketika mereka akan menikah mereka sudah siap untuk mengikuti serangkai tes dan bimbingan untuk mendapatkan sertifikat nikah," tandasnya.

Senada, salah satu calon pengantin, Inggrid mengaku setuju dengan adanya sertifikat nikah. Menurutnya, saat ini dengan bimbingan pra nikah yang digelar di KUA juga sudah cukup membantu cantin untuk bekal ilmu membangun rumah tangga.

Menurutnya, dengan adanya sertifikat nikah juga punya nilai plus tersendiri. Tetapi ia juga berharap jika nantinya diterapkan, proses mendapatkan sertifikat itu tidak membutuhkan proses yang mendadak dan waktu yang lama. Sehingga tidak memberatkan bagi calon pengantin ketika akan menikah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: