Pilkada 2020, Figur Miliki Peran Penting Ketimbang Parpol
KOTA - Kalau ingin menang Pilkada 2020, maka calon wali kota atau bupati yang diusung harus sosok yang dikenal masyarakat, memiliki kapasitas dan kapabilitas. Sehingga banyak muncul fenomena caplok-mencaplok antar kader partai, seperti yang terjadi di beberapa daerah pada pilkada-pilkada sebelumnya.
Demikian dikatakan Ketua Komisi A DPRD Provinsi Jateng, Muhammad Saleh ST usai menyampaikan materi 'menyongsong Pilkada 2020, kemarin. "Jadi figur telah menggeser dominasi mesin parpol dalam memengaruhi pilihan. Dalam kontestasi pilkada, figur yang diusung jauh lebih penting ketimbang partai yang mengusung," ucapnya.
Faktor efek ekor jas, sambungnya, membuat partai politik berlomba mencari figur atau kandidat yang potensial menang meski bukan dari kadernya sendiri. Sehingga impor figur antar kader partai akan kembali dilakukan sebagai usaha memenangi kompetisi Pilkada. Tantangan ini, sambung Politisi Golkar itu, tak dapat dielakkan lantaran pilkada serentak 2020 punya makna strategis bagi partai politik, yakni sebagai ajang untuk memanaskan mesin politik menuju Pemilu 2024.
"Di sisi lain, partai akan berjuang habis-habisan untuk bisa meraih kemenangan sebesar-besarnya di setiap daerah. Matematika politik parpol mengatakan bahwa semakin banyak kader terpilih sebagai kepala daerah, semakin kuat kaki politik sebuah partai untuk menyongsong pemilu 2024," bebernya.
Ditanya soal kecurangan di dalam pilkada? Saleh menyebut dapat dibagi dua. Kecurangan saat pilkada dan kecurangan pra-pilkada. Kecurangan pada saat pilkada dimulai ketika sang kandidat sudah ditetapkan KPU sebagai peserta (kandidat) pilkada dan berlangsung hingga pemungutan suara.
"Dalam hal ini, kecurangan bisa berupa kampanye hitam, politik uang, intimidasi, hingga manipulasi hasil perolehan suara. Sedangkan kecurangan pra-pilkada biasan melibatkan kontestan atau melibatkan penyelenggara pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU). Misalnya, KPU memaksakan orang yang tidak memenuhi syarat diikutkan dalam pilkada atau sebaliknya," ungkapnya.
Saleh menambahkan, dilihat dari demografi pemilih, pilkada serentak 2020 akan didominasi pemilih milenial. Kondisi itu perlu menjadi catatan penting lantaran tren kepemimpinan milenial juga sedang naik daun. Milenial kini bukan sekadar objek politik, tapi sebagian besar sudah menjadi subjek politik.
"Terpilihnya 52 anggota DPR RI dari kalangan milenial, 1 menteri dan 2 wakil menteri dari kelompok milenial, serta 7 staf khusus presiden juga dari generasi milenial menunjukkan bahwa gelombang kepemimpinan milenial sedang terjadi di Indonesia. Tak tertutup kemungkinan tren itu juga akan berlangsung dalam kontestasi pilkada 2020," ungkapnya.
Pola kampanye seiring hadirnya era technopolitic, Saleh menambahkan, mengutip Victor Sampredo dalam Introduction: New Trends and Challenges in Political Communication (2011), technopolitic dimaknai sebagai fenomena meleburnya antara teknologi dan politik.
"Technopoliticmembuat wajah politik berubah. Sebagai contoh, pola-pola mendekati masyarakat pemilih (kampanye) secara konvensional seperti pengerahan massa serta pemasangan baliho dan spanduk akan mulai bergeser. Kampanye akbar mulai bergeser menjadi berbasis personal dan kampanye di media massa mulai bergeser ke media sosial," pungkasnya. (dur)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: