Kesehatan Mental Remaja, Tanggung Jawab Sekolah?
Kepala SMAN 1 Kedungwuni Indah Muslichatun, S.Pd, M. Pd -Foto-Malikha
Akhir-akhir ini banyak terjadi fenomena kekerasan dan perundungan di kalangan remaja. Hal ini terkait erat dengan kesehatan mental remaja. Perkembangan teknologi informasi sebagai buah dari pandemi Covid 19 menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terganggunya kesehatan mental remaja saat ini. Buah dari pandemi ada yang manis dan ada yang masam bahkan pahit, ternyata. Tidak bisa kita pungkiri bahwa berkembangnya teknologi informasi sebagai dampak dari pandemi mendatangkan banyak kemanfaatan yang memudahkan hidup kita. Tetapi di sisi lain, karena ketidakarifan pengguna, teknologi informasi juga memberikan dampak yang buruk, bahkan mengerikan untuk perkembangan hidup manusia, khususnya remaja. Permasalahan yang lain adalah masalah pola asuh, pola hubungan remaja dan orang tua, dan kurang adanya keteladanan dari kita sebagai orang tua.
Kesehatan mental merupakan kondisi dimana individu memiliki kesejahteraan yang tampak dari dirinya yang mampu menyadari potensinya sendiri, memiliki kemampuan untuk mengatasi tekanan hidup normal pada berbagai situasi dalam kehidupan, mampu bekerja secara produktif dan bermanfaat, serta mampu memberikan kontribusi kepada komunitasnya. Remaja dengan kesehatan mental yang baik memiliki ciri-ciri sebagai berikut : Merasa lebih bahagia dan lebih positif tentang diri mereka sendiri; menikmati hidup; bangkit kembali dari kegagalan, kekesalan dan kekecewaan; memiliki hubungan yang sehat dan selaras dengan teman , keluarga, dan orang-orang disekitarnya; melakukan atau terlibat dalam aktivitas positif; memiliki rasa pencapaian diri dengan kegiatan-kegiatan bermakna yang telah dilakukannya; bisa bersantai dan tidur nyenyak; dan menerima nasehat dan siap untuk memperbaiki diri. Remaja yang dalam kondisi sebaliknya dari beberapa ciri-ciri di atas, bisa dikatakan memiliki masalah kesehatan mental.
Media sosial menyajikan banyak hal yang bisa mengganggu kesehatan mental remaja yang bisa memantik kecemasan, kesedihan, kekecewaan, insecurity, ketersinggungan, keterasingan, kesalahfahaman, bahkan kemarahan remaja. Perilaku yang muncul berikutnya adalah tindakan menutup diri, menarik diri dari pergaulan, kekerasan, ancaman, dan sebagainya. Kondisi ini diperburuk dengan jeleknya pola asuh dan pola relasi antara remaja dan orang tua. Orang tua zaman now memiliki tingkat kesibukan yang tinggi terkait tanggung jawab mereka untuk menghidupi keluarga. Banyak rumah tangga yang mengharuskan ayah dan ibu bekerja karena tuntutan kebutuhan yang memang tinggi. Selain kesibukan bekerja, pendidikan yang minim tentang pola asuh anak, menyebabkan banyak orang tua bersikap masa bodoh terhadap perkembangan spiritual, sosial, emosional, dan psikologis anak. Jadilah anak-anak remaja kita, bahkan anak-anak secara umum, dipercayakan pengasuhannya pada tiktok, Instagram, game online, dan platform media sosial yang lainnya; yang orang tua juga tidak peduli apakah yang masuk ke otak putra putri mereka hal-hal yang baik atau justru sampah yang sangat kotor. Belum lagi persoalan keharmonisan orang tua yang seringkali menambah beban persoalan anak-anak. Mereka mengalami krisis keteladanan dari orang-orang yang seharusnya menjadi teladan dan pengayom mereka.
Penelitian yang dilakukan oleh National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS), pada tahun 2022, menyajikan fakta bahwa 1 dari 3 remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental, sementara 1 dari 20 remaja Indonesia memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir pada tahun tersebut. Bisa jadi jumlah itu semakin bertambah di tahun 2023, dengan maraknya berbagai persoalan remaja dari mulai kasus perundungan, narkoba, pencurian, perkelahian, pergaulan bebas, sampai pelecehan seksual. Fenomena ini cukup memprihatinkan, mengingat remaja adalah calon pemimpin bangsa di masa depan. Bila kondisi ini tidak segera diantisipasi, maka bonus demografi Indonesia akan berubah menjadi bencana kependudukan yang justru akan melemahkan bangsa Indonesia. Naudzubillahi min dhalik.
Keadaan ini harus menjadi perhatian semua pihak, dan yang nomor 1 harus paling peduli adalah para orang tua. Orang tua adalah penanggung jawab langsung atas tumbuh kembang putra putrinya. Mereka adalah sosok yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Tuhan atas perilaku dan kepribadian putra putri mereka. Apakah kita sebagai orang tua sudah memberikan pendidikan, kasih sayang, pelayanan, dan cinta terbaik untuk anak-anak kita? Sudahkah kita mencoba mendengarkan apa kemauan anak-anak, dan mencoba mengarahkannya dengan bahasa dialogis bila kemauannya memang perlu diluruskan? Sudahkah kita untuk tidak terus menerus menuntut mereka atas apa-apa yang tidak pernah kita ajarkan atau kita contohkan? Sudahkah kita menciptakan iklim keluarga yang hangat, mendengarkan keluh kesah dan cerita mereka, menerima kritik dan saran mereka dengan terbuka tanpa marah? Sudahkah kita mengajarkan kepada mereka untuk menjadi pribadi yang bertakwa, penuh energi positif, kuat, pandai bersabar dan bersyukur dan sekaligus menjadi teladan bagi mereka?
Semoga ini menjadi renungan untuk kita semua, para orang tua.
Bagaimana dengan sekolah? Apakah sekolah juga bertanggung jawab atas kesehatan mental remaja kita? Yang bertanggung jawab dan berkewajiban penuh atas kesehatan mental remaja adalah orang tua. Kalaupun bapak ibu guru di sekolah mengambil peran tersebut, itu adalah karena kebaikan dan kemuliaan bapak ibu guru yang terketuk hatinya untuk secara kolektif membimbing dan membina remaja menjadi para calon pemimpin yang andal; karena setiap pribadi adalah pemimpin, minimal memimpin dirinya sendiri. Kebaikan itu adalah sebuah bentuk tanggung jawab moral sebagai masyarakat dan warga negara yang sangat peduli akan terjaganya martabat dan marwah bangsa.
Mengupayakan kesehatan mental anak bangsa adalah sebuah upaya sistemik yang harus menjadi kepedulian semua pihak. Nomor satu adalah orang tua. Berikutnya, guru, dosen, masyarakat, pejabat tinggi, para penegak hidup, dan pemerintah harus bersinergi untuk menciptakan iklim dan kondisi yang mendukung terjaminnya kesehatan mental remaja karena dampaknya yang sangat penting untuk terwujudnya tatanan kehidupan yang harmonis.
Sekolah sebagai sebuah institusi pendidikan dengan panduan dari pemerintah melalui visi pendidikan Indonesia, yaitu terciptanya generasi dengan profil pelajar Pancasila, telah mendesain kurikulumnya sedemikian rupa; tidak hanya berfokus pada pengembangan kompetensi siswa, tetapi juga penumbuhan karakter baik siswa. Berbagai kegiatan dari pagi sampai sore, dimaksudkan untuk menumbuhkan soft skill siswa dan menjaga sekaligus menguatkan mental mereka. Setiap sekolah memiliki ‘hidden curriculum’ untuk melahirkan generasi muda sesuai harapan bangsa. Sekolah adalah tempat yang sangat efektif untuk melakukan behaviour engineering terhadap peserta didik. Untuk itu, dengan tidak mengabaikan peran dan tanggung jawab utamanya dalam pendidikan putra putrinya, orang tua juga harus berterima kasih kepada sekolah dan bapak ibu guru yang telah membantu mereka dalam mendidik putra putrinya untuk menguasai ilmu pengetahuan sekaligus menjadi pribadi yang lebih matang dan dewasa dengan ahlak mulianya. Saya sebagai orang tua dari anak-anak saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua bapak ibu gurunya yang telah mendidik dan mengajar mereka dengan penuh keikhlasan di sekolah, mulai dari jenjang PAUD sampai Perguruan Tinggi. Jazakumullah khoiron katsiron wa barokallah fiikum.
Apabila setiap orang tua menyadari tanggung jawab besarnya untuk peduli pada tumbuh kembang putra putrinya, setiap guru peduli untuk turut mengambil peran memperhatikan ahlak dan karakter anak-anak didiknya, para pejabat dan pemerintah mengambil peran untuk intervensi terhadap permasalahan moral anak muda, maka harapan untuk hadirnya bonus demografi yang menjadi berkah untuk bangsa Indonesia, benar-benar akan terwujud. Semoga.
Oleh : Indah Muslichatun, S.Pd, M. Pd
Kepala SMAN 1 Kedungwuni
Pekalongan, 29 Oktober 2023
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: