Minyak Goreng Langka di Pasaran, Rizal Bawazier: Pemerintah Tetapkan HET Tanpa Pertimbangkan Harga Internasion

Kamis 09-02-2023,13:17 WIB
Reporter : Dony Widyo
Editor : Dony Widyo

BATANG - Para ibu rumah tangga sejak beberapa hari ini mengeluhkan langkanya minyak goreng bersubsidi merek MinyaKita di pasaran. 

Jikapun ada, harganya sudah hampir bisa dipastikan jauh lebih tinggi dibandingkan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang sudah ditetapkan pemerintah.

"Masyarakat banyak yang mengeluh terkait langkanya minyak goreng di pasaran. Dan dari penuturan pedagang sendiri, ternyata hal itu disebabkan berkurangnya pasokan dari distributor," ungkap Anggota Dewan Pakar DPP PKS, Rizal Bawazier, Kamis (09/02/2023).

Menurut Rizal Bawazier, kurangnya pasokan dari distributor tersebut bisa disebabkan terganggunya suplai dari produsen, dalam hal ini perusahaan yang memproduksi minyak goreng. 

Hal itu bisa disebabkan adanya keengganan dari produsen memproduksi minyak goreng untuk konsumsi dalam negeri. Mengingat harga jual di luar negeri jauh menguntungkan dibandingkan jika mereka harus jual di dalam negeri.

"Penyebab kelangkaan minyak goreng terjadi karena kebijakan pemerintah yang menilai inflasi sudah tinggi, dan kemudian menetapkan HET. Namun hal itu dilakukan tanpa mempertimbangkan harga internasional yang membuat minyak goreng langka dipasaran. Terlihat sewaktu 2022 setelah Kementerian Perdagangan mencabut kebijakan HET, langsung minyak goreng membludak di pasaran," jelas Rizal Bawazier.

Dengan demikian, lanjut dia, kelangkaan minyak goreng bukan disebabkan pelaku usaha melakukan ekspor berlebihan, namun karena adanya kebijakan HET. "Dengan adanya penetapan HET jelas akan mempengaruhi keuntungan dari produsen di tengah kondisi harga sawit saat ini. Sehingga mereka enggan untuk memproduksi minyak goreng untuk dipasarkan di dalam negeri, karena keuntungan yang dirasa sangat kecil, dibandingkan jika dijual untuk ekspor," bebernya.

Lebih lanjut dijelaskan, permasalahan stabilitas harga dan pasokan minyak goreng bersumber sekurang-kurangnya dari tiga hal.  Pertama, masalah tata niaga terutama pada saat menghadapi kenaikan harga Minyak Sawit Mentah (crude palm oil/ CPO) di pasar internasional. 

Kedua, ketidakmampuan pengambil kebijakan dalam mengendalikan pasokan CPO untuk pemenuhan kebutuhan di dalam negeri, dan ketiga, tidak tersedianya data produksi dan konsumsi minyak goreng yang akurat. 

"Oleh karena itu, Pemerintah Pusat harus mempertimbangkan ketiga hal tersebut dalam menghadapi kelangkaan minyak goreng, bukan dengan ‘membekukan’ sebagian hak ekspor yang dimiliki eksportir minyak sawit mentah (CPO)," tandasnya.

Sebelumnya, pemerintah telah ‘membekukan’ sebagian hak ekspor yang dimiliki eksportir minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO). Kebijakan tersebut diambil sebagai respons atas kelangkaan minyak goreng dan harganya yang cenderung mengalami kenaikan dalam beberapa waktu terakhir. 

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengaku telah menggelar rapat koordinasi (Rakor) pada hari Senin (6/2/2023), bersama Kementerian/Lembaga (K/L) terkait dengan para produsen minyak goreng.

Hasil dari Rakor tersebut, kata Luhut, diputuskan bahwa batas pasokan wajib dalam negeri (domestic market obligation/DMO) CPO naik menjadi 50 persen. “Kami menyepakati peningkatan pasokan DMO oleh produsen minyak goreng sebanyak 50 persen hingga memasuki masa Lebaran nanti,” ungkap Luhut, dikutip dari akun Instagram resminya, Senin (6/2/2023). (don)

Kategori :