KAJEN,RADARPEKALONGAN - Kasus bullying dan kekerasan terhadap anak akhir-akhir ini kian memprihatinkan. Selama tahun 2022 di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah terdapat 1224 kasus kekerasan terhadap anak dan bullying.
"Itu cukup fantastis jumlahnya. Tentu dengan banyaknya kasus-kasus ini maka kita semuanya perlu bersinergi seperti kegiatan hari ini adalah kolaborasi juga dari Polda Jateng, ponpes, dan melibatkan kami di DP3AP2KB Provinsi Jateng," ujar Sub Koordinator Perlindungan Anak DP3AP2KB Jateng, Isti Ilma Patriani, ditemui usai memberikan pembekalan santri di Pondok Pesantren Assalam Kajen, Rabu, 18 Oktober 2023.
Upaya kolaboratif itu menjadi langkah yang penting agar anak-anak dilatih menjadi para agen perubahan atau agen 2P (pelopor dan pelapor). Anak-anak ini pun didorong menjadi jogo konco.
Artinya, lanjut dia, mereka saling melindungi, saling menjaga sesama teman, agar tidak menjadi korban maupun pelaku kekerasan atau bullying. "Kita bersama-sama mewujudkan pondok pesantren yang ramah anak, terlebih sudah ada Peraturan Menteri Agama dan juga ada Permendikbud Ristek yang implementasinya saat ini kita tunggu bersama untuk pembentukan tim pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan," kata dia.
Baca juga:Cegah Bullying, Kapolres Pekalongan dan Perwira jadi Pembina Upacara Hari Senin di Sekolah
Dengan langkah-langkah konkrit inilah diharapkan bisa meminimalisir adanya kasus kekerasan maupun bullying, terutama di ponpes. Jika kasus kekerasan dan bullying bisa dicegah, maka anak-anak bisa bertumbuh dengan maksimal dan menjadi generasi yang hebat di kemudian hari. "Kita lihat bahwasanya ponpes di Jateng jumlahnya cukup banyak. Ada 5059 pondok di Jateng," katanya.
Menurutnya, tren kasus kekerasan terhadap anak dan bullying sebetulnya hampir sama dari tahun ke tahun. Di Jateng, kata dia, berkisar di angka 1000 ke atas. Namun jika bicara angka, perlu dilihat dari dua sisi.
"Ketika itu terlihat tinggi, maka kita lihat sisi masyarakat ini sudah berani untuk melaporkan jika ada kasus kekerasan. Artinya upaya pencegahan kita melalui sosialisasi itu sudah berhasil," ujarnya.
Disinggung faktor yang memengaruhi bullying, ia mengatakan faktornya cukup banyak. Salah satunya budaya patriarki di Jawa, bahwasanya anak maupun perempuan itu dianggap warga nomor dua. Inilah yang perlu dirubah paradigma berpikirnya bahwa perempuan dan anak ini mereka kelompok yang rentan dan harus dilindungi. Mereka memiliki hak yang sama dengan semua pihak.
"Budaya patriarki yang sangat kental ini perlu diberi pemahaman bahwa anak dan perempuan memiliki hak-hak yang sama. Faktor lainnya, masalah pemahaman tentang hak-hak anak masih minim. Anak dianggap miniaturnya orang dewasa sehingga bisa diperlakukan semena-mena dengan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi," kata dia.
Sementara itu, Kabag Psikologi Polda Jateng AKBP Novian mengatakan, kegiatan pembekalan kepada para santri ini diinisasi oleh Ponpes Assalam Kajen, dengan mengundang beberapa ponpes lainnya.
"Kami dari bagian psikologi Polda Jawa Tengah memberi edukasi terhadap lingkungan-lingkungan yang berpotensi adanya gangguan kekerasan atau bullying yang sekarang marak. Kami berikan edukasi yang tujuannya untuk membekali para santri dan santriwati untuk memehami sekaligus memberikan problem solving di antara pribadi untuk menyelesaikan masalah-masalah yang rawan terhadap kekerasan atau bullying," ungkapnya.
Menurutnya, dampak kekerasan terhadap anak dan bullying sangat banyak. Di antaranya, pihak sekolah akan dicibir. Anak yang jadi korban akan mengalami trauma, depresi, bahkan jika parah bisa bunuh diri.
"Nah menyikapi ini kita bisa memberi edukasi tadi, kemampuannya anak dioptimalkan, dan yang paling utama adalah problem solving di antara pribadi," kata dia.