Disway award
iklan banner Honda atas

Revitalisasi Sekolah: Membangun Pendidikan dan Pemberdayaan Lokal

Revitalisasi Sekolah: Membangun Pendidikan dan Pemberdayaan Lokal

--

Dalam gegap gempita wacana generasi emas Indonesia, seringkali kita lupa hal-hal kecil yang sebetulnya memiliki nilai. Contoh saja, ruang-ruang kelas untuk siswa-siswi belajar, bangku, papan tulis, dan meja belajar. Walaupun terlihat sederhana, komponen-komponen itu bisa saja menjadi variabel fondasi yang menjadi alat ukur kemajuan sebuah bangsa. Lingkungan belajar yang memadai dan bikin nyaman tentu menjadi obor semangat belajar para siswa. Meningkatkan kualitas pembelajaran dan membuat suasana kondusif untuk tumbuhnya ide kreatif dan gagasan inovatif.

Menyadari urgensi hal itu, Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) menggagas program revitalisasi sekolah yang telah menjangkau 13.000 satuan pendidikan di tahun 2025. Hal ini bukan hanya terhenti pada proyek infrastruktur saja, tetapi transformasi pendidikan secara menyeluruh. Dengan begitu, paradigma pembelajaran tidak cukup berkembang, melainkan maju dan semakin inovatif. Sehingga, ke depan Indonesia mampu menghasilkan generasi emas yang berkompeten dan berkarakter.

Demokratisasi Pendidikan

Sejatinya semua manusia memiliki kesempatan yang sama, begitupun siswa memiliki hak belajar yang sama. Khususnya dalam lingkungan belajar yang nyaman, aman, dan menyenangkan. Program revitalisasi sekolah yang telah menjangkau 13.000 satuan pendidikan memahami filosofi ini dengan memprioritaskan tujuh komponen esensial: ruang kelas, ruang guru, ruang administrasi, perpustakaan, toilet, laboratorium, dan UKS. Setiap komponen saling terkait dalam menciptakan ekosistem pembelajaran yang holistik.

Salah satu pencapaian terpenting adalah demokratisasi akses terhadap pendidikan berkualitas. Program dengan target lebih dari 10.000 satuan pendidikan dan alokasi Rp 17,1 triliun menghadirkan keadilan dalam bentuk paling konkret. Ketika anak di pedalaman Papua dapat belajar di ruang kelas yang sama kualitasnya dengan anak di Jakarta, di situlah kita melihat wujud nyata dari semboyan "pendidikan bermutu untuk semua."

Motor Penggerak Perekonomian Desa

Program revitalisasi sekolah dengan pola swakelola telah membuktikan diri sebagai stimulus ekonomi yang efektif bagi masyarakat lokal. Direktur Pendidikan Anak Usia Dini, Nia Nurhasanah, menjelaskan bahwa pendekatan ini menempatkan pendidikan sebagai pusat pembangunan masyarakat.

"Melalui swakelola, sekolah dapat membeli bahan bangunan langsung dari toko-toko material di sekitar sekolah, sehingga dana bantuan pemerintah dapat langsung menyentuh pelaku usaha lokal. Tukang bangunan, pengrajin, dan pekerja lokal juga dilibatkan, sehingga program ini menjadi stimulus ekonomi masyarakat," ungkap Nia.

Pengadaan barang dan jasa yang dilakukan di sekitar sekolah turut menciptakan perputaran ekonomi yang sehat. Toko bangunan, penyedia pasir dan batu, jasa angkut, hingga warung makan di sekitar lokasi proyek ikut mendapatkan manfaat. Fenomena ini menciptakan multiplier effect yang langsung dirasakan masyarakat.

Alokasi anggaran sebesar Rp 17,1 triliun bukan angka yang bermakna ekonomis semata, tetapi investasi dalam kesetaraan kesempatan. Ketika seorang anak di pedalaman Papua dapat belajar di ruang kelas yang sama kualitasnya dengan anak di Jakarta, di situlah kita melihat wujud nyata dari semboyan "pendidikan bermutu untuk semua."

Gotong Royong Modern

Program revitalisasi sekolah berhasil menghidupkan kembali semangat gotong royong yang menjadi nilai luhur bangsa Indonesia. Masyarakat bersama komite sekolah dan tenaga pendidik terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan pembangunan. Mereka tidak lagi menjadi penonton, tetapi pelaku aktif dalam perubahan.

Sebagaimana diungkapkan salah satu Kepala Sekolah PAUD di Kabupaten Pati, Jawa Tengah: "Saat orang tua siswa membantu mengecat ruang kelas atau ikut membangun pagar sekolah, ada rasa memiliki yang tumbuh. Ini penting untuk menjaga keberlanjutan fasilitas yang telah dibangun. Sekolah menjadi milik bersama, bukan hanya tanggung jawab pemerintah."

Pendekatan ini menciptakan pembelajaran sosial yang berharga, di mana anak-anak menyaksikan bagaimana komunitas mereka bergotong royong membangun masa depan pendidikan. Nilai-nilai kolaborasi, tanggung jawab, dan kepedulian tertanam secara alamiah melalui proses ini.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: