Putra Pejuang 3 Oktober 1945 jadi Tukang Parkir

Putra Pejuang 3 Oktober 1945 jadi Tukang Parkir

BERTAHAN - Soekotjo (73), putra pejuang peristiwa pertempuran 3 Oktober 1945, bersama sang istri, Rumyana (60), bertahan dengan menjalani profesi sebagai tukang parkir.

KOTA - Pertempuran 3 Oktober 1945 di Kota Pekalongan, menjadi peristiwa heroik yang terus dikenang dan diperingati setiap tahun. Namun dibalik cerita-cerita kepahlawanan dalam peristiwa tersebut, masih ada ahli waris para pejuang yang kini hidup tak sejahtera. Soekotjo salah satunya. Pria 73 tahun tersebut kini menyambung hidup dengan menjadi tukang parkir di Jalan Hayam Wuruk. Soekotjo merupakan putra satu-satunya pejuang 3 Oktober 1945 atas nama Mijako bin H Soebali yang turut gugur dalam pertempuran.

Dia bersama sang istri, Rumyana (60), kini menempati sebuah rumah yang berdiri di atas tanah PT KAI di wilayah Kelurahan Bendan Kergon. Rumahnya sangat sederhana kalau tidak bisa dibilang kecil. Ruang tamunya hanya seluas 3 x 5 meter dengan perabot apa adanya. Satu unit motor matic terparkir di dalam ruang tamu bersandingan dengan sebuah ranjang yang sudah tampak lusuh. Satu kursi panjang dan satu kursi kecil bersama satu lemari, melengkapi perabot di ruang tamu.

Setiap sore, mengenakan rompi oranye dia akan berangkat ke Jalan Hayam Wuruk, tepatnya di depan Toko Idjo. Hingga malam hari, dia mencari sumber penghidupan di lokasi tersebut. Namun setengah bulan terakhir, dia mengaku tak berangkat karena sakit. Umur yang sudah tua membuang badannya rentan. "Sudah sekitar 20 hari tidak berangkat, sakit," tuturnya saat ditemui Kamis (3/10).

Dari profesinya itu, Soekotjo mengaku mendapatkan penghasilan rata-rata Rp30 ribu per hari. Sebelum menjadi tukang parkir, dia juga sempat menekuni profesi sebagai tukang becak dan membuka bengkel. "Sekarang menjadi tukang parkir juga banyak liburnya karena badan sudah sering sakit-sakitan," tambahnya pria 4 anak tersebut.

Soekotjo mengaku tak sempat bertemu langsung dengan sang ayah, Mijako. Karena saat sang ayah gugur dalam pertempuran pada 3 Oktober 1945, Soekotjo masih berada dalam kandungan sang ibu, Anne Marie. Baru tujuh bulan kemudian, tepatnya pada 1 Mei 1946, Soekotjo lahir.
Selama ini, dia hanya mendengar kisah heroik orang tuanya itu melalui cerita dari sang ibu maupun kolega sang ayah yang turut langsung dalam pertempuran tersebut.

Menurut Soekotjo, ayahnya dulu merupakan pemuda yang menurunkan bendera Jepang yang berkibar di atas Markas Kempetai, di Jalan Pemuda yang kini menjadi Masjid Syuhada. Saat itulah pasukan Jepang memberondong tembakan secara membabi buta dan ayahnya menjadi salah satu pejuang yang gugur.

Setelah itu, dia tak pernah tahu lagi bagaimana kisah lanjutan dari peristiwa tersebut. Saat beranjak besar, dia hanya tahu bahwa sang ayah dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Prawira Reksa Negara Kota Pekalongan. Sejak ditinggal sang ayah, dia kemudian diasuh oleh kakeknya, H Soebali dan menempati kediaman di Jalan Jawa. Sedangkan sang ibu, Anne Marie, perempuan keturunan Perancis asli Bandung, kembali ke kampung halamannya dan menikah lagi.

Tak hanya Soekotjo, sang istri Rumyana, juga ternyata merupakan keturunan pejuang bernama Abdurrahman. Namun Abdurrahman tak terlibat langsung dalam peristiwa 3 Oktober 1945. Saat masa perjuangan, Abdurrahman bergabung dalam kelompok Kyai Syafii yang turut serta mengusir penjajah dari tanah Pekalongan.

Selama ini Soekotjo mungkin tak masuk dalam daftar ahli waris pejuang pertempuran 3 Oktober 1945. Buktinya, dia belum pernah sekalipun mendapatkan undangan untuk hadir dalam peringatan peristiwa pertempuran 3 Oktober 1945 yang rutin dilaksanakan setiap tahun. Dia juga belum pernah mencicipi santunan dari pemerintah.

Baru pada tahun ini, setelah dirinya didatangi tim penelusuran dan pelurusan nama pahlawan 3 Oktober 1945, dia turut diundang dalam ramah tamah di Guest House Wali Kota. Dalam acara tersebut, dia turut menerima bingkisan dari Pemkot Pekalongan. Saat acara, bingkisan diserahkan secara simbolis dan bingkisan asli akan diantar. Namun sampai saat bingkisan yang dijanjikan belum kunjung diterimanya.

Rumah yang kini ditempatinya, juga sudah mendapatkan ultimatum. Tiga tahun mendatang, menurut Soekotjo, tanah tersebut akan digunakan oleh si pemilik yakni PT KAI. "Infonya seperti itu tapi belum jelas juga. Ya nanti saya mungkin ikut anak. Sudah ada yang menawari karena satu anak saya tinggal di Sragi, tiga lainnya di Bandung. Tapi dia juga masih tinggal bersama mertuanya jadi tidak enak juga," tuturnya.

Soekotjo hanya berharap jika memungkinkan, pemerintah bisa memberikan perhatian untuknya. "Semoga pemerintah ada memikirkan, kalau ada alhamdulillah," harapnya. Selain harapan, dia juga menyertakan doa untuk Kota Pekalongan. "Semoga Kota Pekalongan bertambah sukses," tandasnya.(nul)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: