WHO Uji Klinis 4 Obat untuk Corona, Ini Daftarnya
"Bukti bahwa chloroquine sebagai antivirus pada manusia kurang meyakinkan dan akan membutuhkan lebih banyak penelitian, tetapi saya tidak percaya diri. Untuk beberapa virus yang diuji, chloroquine sebenarnya memperburuk penyakit pada model hewan."
2. Remdesivir
Remdesivir adalah obat antivirus yang pertama kali dikembangkan untuk mengobati Ebola. Namun penelitian lebih lanjut menunjukkan obat ini dapat memblokir MERS dan SARS dalam sel.
Tes laboratorium telah menunjukkan Remdesivir bisa menghambat virus corona baru. Ada juga bukti anekdotal bahwa Remdesivir membantu mengobati pasien COVID-19, walau tidak ada jaminan bahwa uji klinis akan menunjukkan bahwa Remdisivir bekerja lebih baik.
Itulah sebabnya data yang dikumpulkan melalui uji coba WHO, uji coba adaptif, dan penelitian lain sangat penting sebelum memberikannya kepada orang sakit secara massal. Dokter harus memastikan bahwa obat itu benar-benar bekerja.
Uji coba SOLIDARITY tulis detik.com dari WHO menyebut Remdesivir memiliki potensi terbaik untuk digunakan pada pasien. Namun pemberian dalam dosis tinggi dapat menyebabkan keracunan pada pasien.
3. Ritonavir-Lopinavir
Obat kombinasi Ritonavir-Lopinavir yang dijual dengan merek Kaltera awalnya digunakan pada tahun 2000 untuk mengobati infeksi HIV.
Pada bulan Februari lalu, dokter di Thailand mengatakan mereka melihat adanya perbaikan kondisi pasien COVID-19 saat diberi kombinasi obat Ritonavir-Lopinavir.
Saat ini WHO sedang menguji kombinasi obat tersebut bersama dengan anti-inflamasi interferon beta, yang diproduksi tubuh secara alami untuk menangkal virus.
4. Ritonavir-Lopinavir dan Interferon-beta
Tim peneliti WHO, SOLIDARITY, juga akan menggabungkan dua antivirus dengan interferon-beta, sebuah molekul yang terlibat dalam mengatur peradangan dalam tubuh. Kombinasi ketiga obat tersebut sekarang sedang diuji pada pasien MERS di Arab Saudi dalam uji coba terkontrol acak pertama untuk penyakit itu.
Tetapi penggunaan interferon-beta pada pasien dengan COVID-19 yang parah mungkin berisiko. Jika obat diberikan terlambat, penyakit ini dapat dengan mudah menyebabkan kerusakan jaringan yang lebih buruk daripada membantu pasien. (sef/cnnindonesia)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: