Muncul Kekhawatiran Artificial Intelligence akan Menggantikan Peran Guru, Benarkah?

Muncul Kekhawatiran Artificial Intelligence akan Menggantikan Peran Guru, Benarkah?

Teachers Gathering 2023 yang diadakan Universitas Prasetiya Mulya (Prasmul) di Hotel The Westin Jakarta, baru-baru ini.-istimewa -

Dalam acara yang sama, Dekan Sekolah Hukum dan Studi Internasional Prasmul, Dr Noer Hassan Wirajuda, mengatakan, para pendidik juga harus peka dalam melihat tren dalam proses pembelajaran.

Baru-baru ini, Pusat Studi Kebangsaaan Indonesia Universitas Prasetiya Mulya melakukan survei terhadap 1.600 mahasiswa dari seluruh Indonesia untuk mengetahui cara belajar dan bagaimana mereka mendapatkan pengetahuan.

“Dari survei itu terungkap, para siswa belajar melalui internet dan media sosial. Sisanya, sebanyak 26 persen menjawab belajar dari kelas, dan 16 persen lainnya belajar dari buku,” ujar Hassan yang juga menjabat sebagai Kepala Pusat Studi Kebangsaan Prasmul. 

Hasil survei ini, kata dia, memperlihatkan tren baru yang bisa menjadi tantangan sekaligus peluang bagi pendidik. Karena survei tersebut juga menunjukkan para anak didik menginginkan proses pembelajaran yang lebih interaktif.

Menurut Hassan, para pendidik, guru maupun dosen, harus siap menghadapi perubahan tersebut dan menangkap keinginan para anak didiknya. "Guru perlu mengembangkan metode baru dalam pembelajaran yang lebih interaktif, tanpa mengurangi kualitas muatan ilmu yang disampaikan," katanya.

Sebagai contoh, ujar Hassan, para pendidik bisa memanfaatkan media sosial, kecerdasan buatan, sampai teknologi metamesta (metaverse) untuk memberikan materi pendidikan secara multimedia, sehingga proses belajar para siswa menjadi lebih menarik.

Teknologi berkembang, revisi kurikulum harus lebih cepat

Sementara itu, Ketua Yayasan Guru Belajar, Bukik Setiawan, menekankan pentingnya penguatan pengembangan keahlian dan kemampuan guru. Saat ini, kata Bukik, kapasitas program pengembangan guru sangat kecil sehingga berjalan lamban. 

"Setiap tahun, pemerintah hanya menyediakan ruang pengembangan kapasitas untuk 300 ribu guru, tidak sebanding dengan kebutuhannya. Maka tak heran jika banyak pendidik yang merasa kesulitan mengikuti perubahan," tutur Bukik Setiawan.

Menurut Bukik, pada kenyataannya, saat ini, di Indonesia perubahan kurikulum terhitung lamban. "Idealnya revisi atau penyesuaian kurikulum itu dilakukan setiap tahun, berdasarkan hasil evaluasi. Terlebih dengan pesatnya perkembangan teknologi seperti sekarang," paparnya.

Namun, ia menambahkan, perubahan kurikulum per lima tahun saja sudah terasa terlalu cepat, karena pengembangan kapasitas gurunya yang juga berjalan lamban. "Para pendidik jadi terkesan kewalahan mengikuti perkembangan zaman," lanjutnya.

Salah satu solusi yang bisa dilakukan untuk mengatasi persoalan itu, kata Bukik, bisa dimulai dari institusi pendidikan. 

“Caranya dengan menambah anggaran dan memprioritaskan program pengembangan kapasitas dan kemampuan guru," kata Bukik.

Saat ini, ia menjelaskan, rata-rata setiap sekolah di Indonesia hanya menganggarkan bujet sebesar 0-2 persen dari total anggaran sekolah untuk kebutuhan pengembangan guru.

“Kebanyakan institusi pendidikan masih memprioritaskan anggaran mereka untuk pembangunan fasilitas dan prasarana. Padahal pengembangan kapasitas guru sangat penting.” 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: