"...maka makanlah sebagiannya dan berilah makan orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan orang yang meminta..."
Dalam konteks ini, mazhab Hanafi dan Maliki juga menyarankan agar tidak mengonsumsi seluruh daging hewan kurbannya atau menyimpannya lebih dari tiga hari karena dianggap makruh.
2. Pandangan Mazhab Syafi'i
Mazhab Syafi'i membagi hukum konsumsi daging kurban menjadi dua kategori: wajib dan sukarela.
Untuk kurban wajib, pemilik tidak diizinkan untuk mengonsumsi dagingnya maupun memberikannya kepada anggota keluarga yang ditanggungnya.
Mazhab ini menekankan pentingnya menyedekahkan seluruh daging kepada mereka yang membutuhkan.
Namun, jika hewan kurban melahirkan anak sebelum disembelih, maka anak hewan tersebut juga harus disembelih dan pemilik diizinkan untuk mengonsumsi dagingnya. Hal ini juga berlaku pada susu yang dihasilkan oleh induk hewan kurban.
Sedangkan untuk kurban sukarela, disarankan bagi pemilik untuk mengonsumsi beberapa potong sebagai bentuk mendapatkan keberkahan dari Allah SWT atas perbuatan kurban yang dilakukan.
Pandangan ini disandarkan pada firman Allah SWT dalam surah Al Hajj ayat 28, "...Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang yang sengsara dan fakir."
Hal ini juga disebutkan dalam sebuah riwayat al-Baihaqi, bahwa Rasulullah SAW juga pernah memakan hati hewan yang beliau kurbankan. Dalam hal ini, hukum memakan daging kurban miliknya sendiri tidak wajib. (*)