Jejak Kopi Zaman Penjajahan Belanda Tetap Bertahan di Kabupaten Pekalongan
Petani petik kopi Belanda di Desa Mendolo Kecamatan Lebakbarang.-Hadi Waluyo-
LEBAKBARANG,RADARPEKALONGAN - Potensi kopi di Kabupaten Pekalongan cukup melimpah. Kopi Pekalongan ini bahkan sudah melegenda sejak abad 18, sehingga pada zaman VOC, kopi Pekalongan saat itu menjadi emas hitam.
Petani kopi dari Petungkriyono, Wanuri, Rabu, 26 Juli 2023, mengatakan, kopi yang ditanam di areal hutan Perhutani di Kabupaten Pekalongan sebagian besar ditanam di zaman penjajahan Belanda. Ciri khasnya, pohon kopinya tinggi, biji kecil, dan jenisnya robusta.
Baca juga:Kopi Potensial di Delapan Daerah Atas di Kabupaten Pekalongan
Menurutnya, hingga saat ini masyarakat masih menanam kopi peninggalan Belanda tersebut. Di Petungkriyono, kata dia, masih banyak yang nanam itu.
"Kalau di Temanggung kan sudah ganti yang stek, yang bijinya besar-besar. Mayoritas di Pekalongan dari Petung hingga Kandangserang masih bibit kecil," kata dia.
Di bawah pohon pinus dan sebagainya, lanjut dia, petani masih nanam kopi biji kecil peninggalan Belanda. "Ada satu dua yang sudah stek seperti di jolotigo, di kutorojo Kajen sebagian sudah mulai kembangkan kopi stek yang kualitasnya lebih bagus dan hasilnya lebih banyak," katanya.
Riski Ridholah, pemuda dari Desa Mendolo, Kecamatan Lebakbarang, merupakan salah satu petani yang terus melestarikan kopi Belanda. Ia mengatakan, salah satu ciri dari kopi Belanda adalah tinggi pohonnya yang bisa mencapai tiga meter dengan biji kecil.
Baca lagi:Disperindag Jateng Beri Bantuan Mesin Pengolah Kopi ke Kluster Kopi Kabupaten Pekalongan
Usai dipetik, Riski Ridholah menyortir kopi di rumahnya. Selanjutnya, kopi dijemur hingga kering. Jika sudah kering, kopi Belanda bisa langsung diroasting sesuai pesanan.
Menurutnya, kopi Belanda tumbuh subur di hampir seluruh wilayah di Kecamatan Lebakbarang. Zaman dahulu warga mengambil bibit kopi dari para penjajah yang mendirikan pabrik di sekitar desa. Bibit kopi itu lantas ditanam di sembarang tempat yang keberadaannya hingga sekarang masih tetap terjaga.
Riski Ridholah menjual kopi sesuai pesanan dari luar daerah, seperti Yogyakarta, Semarang dan Jakarta. Bahkan penjualannya dibantu oleh Yayasan Swara Owa yang juga sebagai mentor pengolahan kopi.
"Saya biasa menjualnya dengan harga Rp 20 ribu per 100 gram," kata dia.
Ia berharap ada campur tangan pemerintah agar pemasaran kopi Belanda ini dapat dipasarkan lebih luas lagi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: