Kasus Bunuh Diri Pelajar SD di Kabupaten Pekalongan, Ini Kata Psikolog Nur Agustina
Nur Agustina SP.PSi.M.M-herminahospitals-
Dirinya menyarankan, bagi mereka yang mengalami gangguan perilaku karena adiksi gadget, harus ditangani oleh ahli. Misalnya psikiater dan psikolog. Terutama, jika sudah parah itu membutuhkan pengobatan intens karena dampaknya, adanya perubahan-perubahan perilaku yang tidak bisa hanya dikasih saran atau dikasih tahu saja.
Biasanya, kata dia, di awal-awal kalau masih memungkinkan, sering kita kenal dengan yang disebut detox digital. Detox digital itu sebetulnya kayak pengaturan ulang seseorang menggunakan gadget karena mungkin diawal penggunaan tidak adanya pendampingan.
"Maka itu biasanya, selama tiga hari seseorang diputus dahulu tidak menggunakan gadget. Harus diganti dengan kegiatan-kegiatan positif sebagai pengganti maupun pengalihan atas keinginan dia untuk menggunakan gadget," tegasnya.
Kerap kali, kita sebagai orang tua, hanya melarang seorang anak atau remaja untuk tidak menggunakan gadget, tetapi tidak memberi solusi atas pengalihan kecanduan dimaksud. Itu karena bagi orang tua, harus menemani, kemudian mengalihkan serta diajak bicara, dan biasanya pengalihan perilaku atau kegiatan itu harus bersifat fisik.
"Ya, biasanya kalau bersifat kognitif atau berpikir mereka tidak mudah untuk konsentrasi. Jadi apakah sudah termasuk kategori adiksi atau belum, biasanya ada perilaku yang menunjukkan saat diminta atau tidak menggunakan itu dia akan menunjukkan perilaku-perilaku tertentu atau juga bisa menunjukkan perilaku-perilaku lain saat dia menggunakan," ujarnya.
Dirinya mencontohkan, salah satu indikator yang sering dijumpai adalah anak-anak yang kecanduan gadget biasanya malas untuk membaca, malas mengerjakan tugas-tugas, bahkan malas untuk berangkat sekolah.
"Jadi sebetulnya dampak kecanduan gadget ini cukup berbahaya, tetapi terkadang kita seringkali tidak menyadari dan tidak cukup bekal untuk mengedukasi dan untuk mendidik anak. Apalagi, di era digital sepert ini, orang tua seringkali tidak cukup 'bekal'," tuturnya.
Dijelaskan, perkembangan teknologi, sama halnya dua mata pisau, yang bisa berdampak positif maupun negatif. Dan, seringkali mengabaikan atau meminimalkan dampak negatifnya, karena tidak dilakukan pendampingan terhadap anak.
Dalam kontek kasus anak SD di Doro Kabupaten Pekalongan, menurutnya jika itu karena misalnya semacam perilaku yang diambil orang tua, untuk mengambil gadget itu, karena mungkin sudah sangat susah dikendalikan, tetapi lupa tidak memberikan pendampingan.
Sementara, di satu sisi, anak sudah terkena dampak dari kecanduan itu, dalam perubahan perilaku yang disebabkan oleh perubahan struktur otak. Itu bisa saja memungkinkan terjadi seperti itu, karena dia sudah tidak mampu lagi untuk memikirkan risiko-risiko terhadap perilaku yang diambil. Namun ini perlu pendalaman lebih lanjut.
Dalam banyak penelitian, kata dia, terutama pada remaja atau anak berisiko pada saat menggunakan sosial media (sosmed). Sehingga, remaja atau anak sangat rentan mengalami depresi, jika mereka tidak memiliki hubungan dekat dengan orang tua, lalu mereka larinya ke sosmed.
"Kita mengenal cyber bullying maupun cyber crime, jadi di sosmed yang menggunakan gadget itu bisa melukai atau menimbulkan trauma bagi remaja atau anak, terutama yang basic kohesifitas hubungan dengan orang tua tidak dekat. Bisa menimbulkan depresi dan sebagainya. Nah, itu bisa juga menjadi pemicu melakukan perilaku menyimpang, misalnya bunuh diri," tutur Agustin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: