Angka Pernikahan di Kota Pekalongan dan Indonesia Terus Menurun, Ini Tanggapan Sosiolog UGM
Tangkapan layar data BPS tentang angka pernikahan di Kota Pekalongan dalam Kota Pekalongan dalam Angka 2024 dan Kota Pekalongan dalam Angka 2014.-BPS Kota Pekalongan-
Bahkan, dalam 10 tahun terakhir perkembangan persentase pemuda yang berstatus kawin dan belum kawin bertolak belakang. Artinya, persentase pemuda yang berstatus kawin semakin menurun sedangkan pemuda yang belum kawin semakin meningkat.
Jika melihat grafik, tren pemuda yang kawin atau menikah konsisten menurun dalam enam tahun belakangan. Bahkan persentase pemuda yang menikah pada 2023 menjadi yang terendah sedekade terakhir.
Dalam laporan BPS disebutkan, hal tersebut menunjukkan adanya pergeseran usia perkawinan pemuda.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan batas usia minimal perkawinan menjadi 19 tahun, baik untuk laki-laki maupun perempuan.
BPS menilai hal tersebut dapat menjadi penyebab penurunan jumlah pemuda berstatus kawin.
Selain itu, mengutip penelitian Riska dkk., BPS menyebut bahwa adanya faktor-faktor seperti keinginan mengejar kesuksesan dalam pendidikan dan karier, mengembangkan diri, dan berkurangnya tekanan dari lingkungan sosial memengaruhi keputusan generasi muda untuk menunda pernikahan.
Tanggapan Sosiolog
Menanggapi fenomena turunnya angka pernikahan, Dosen Senior di Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Muhammad Najib Azca, Ph.D. menuturkan bahwa hal ini perlu mendapat perhatian serius.
Pada jangka panjang, terus menurunnya angka pernikahan kemungkinan bisa meyebabkan permasalahan demografi. Maka dari itu perlu ada intervensi-intervensi baik secara kultural maupun keagamaan.
Menurut Sosiolog kelahiran Pekalongan ini, fenomena penurunan angka pernikahan maupun makin banyaknya anak muda yang menunda nikah ini merupakan fenomena global. Tidak hanya di Indonesia, Jawa Tengah, maupun Kota Pekalongan saja.
Menurutnya, ini menunjukkan adanya perubahan gaya hidup global di era modernitas lanjut. Faktornya antara lain karena pendidikan, naiknya biaya hidup, harga tanah ataupun perumahan yang makin tidak terjangkau, dan sebagainya.
Ini menyebabkan anak muda semakin kalkulatif untuk menikah. Selain juga karena perkembangan teknologi yang makin mengikis perjumpaan komunal.
"Secara umum ini menjadi tren global. Ketika orang dalam hidupnya mebgalami individuasi yang lebih banyak. Dulu kehidupan komunal lebih umum banyak terjadi. Sekarang tidak. Dulu usia nikah lebih muda, sekarang banyak yang menunda nikah. Seiring dengan pendidikan, menikah setelah meraih S1, ada lagi yang menunda setelah S2 dan sebagainya," katanya, Sabtu, 23 Maret 2024.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: